Kasihan, Para Teroris Itu Salah Memahami Islam
Adanya teroris, selain karena campur tangan pihak luar, juga karena mereka sendiri salah memahami Islam. Mereka salah dalam memahami makna jihad, thaghut, hukum Islam dan semacamnya.
Para ustadz mereka mengajari tanpa referensi yang cukup tentang Islam. Ditambah juga karena pengalaman para ustadz itu sendiri yang rata-rata minim dalam perjuangan Islam Islam yang panjang.
Pertama masalah jihad. Para teroris memaknai jihad dengan perang. Perang melawan orang kafir atau munafik. Perang dengan cara mengandalkan kekuatan fisik melawan musuh-musuh Islam. Pemahaman ini jelas keliru. Jihad memiliki makna yang luas dalam Islam. Jihad sendiri artinya berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memuliakan syariat Ilahi.
Menurut Ibnul Qayim, ada beberapa jenis jihad dalam Islam. Jihad melawan orang kafir yang memerangi Islam. Jihad melawan orang munafik. Jihad melawan syetan dan terakhir, jihad melawan hawa nafsu.
Para ulama juga memerinci tentang jihad melawan orang kafir. Jihad melawan orang kafir yang memerangi Islam, tidak boleh dilakukan sembarangan. Jika mereka melakukan penyerangan fisik, maka dilawan dengan fisik. Jika mereka melakukan penyerangan ekonomi, politik, budaya dan lain-lain, dilawan dengan ekonomi, politik, budaya dan seterusnya. Mesti seimbang perlawanan itu.
Maka dulu, para pahlawan kita melawan penjajah Belanda dan Portugis dengan fisik, karena menyerang fisik. Tapi setelah Indonesia merdeka tahun 1945, perlawanan tidak lagi dilakukan dengan fisik, tapi dengan jalan politik atau parlementer. Kecuali dalam peristiwa resolusi jihad melawan tentara sekutu 10 November 1945
Maka lihatlah para ulama kita dari berbagai ormas pada November 1945 membentuk Partai Islam Masyumi. Karena mereka ingin jihad menegakkan Islam lewat konstitusi, lewat politik. Mereka tidak ngawur mengangkat senjata melawan pemerintah yang sah.
Pemahaman yang salah mengenai jihad ini berdampak pada kurikulum pembinaan kader. Dimana para kader dilatih hanya latihan-latihan fisik saja, termasuk membuat alat-alat perang, bom dll, tanpa dilatih untuk perang pemikiran. Akhirnya para kader tahunya perjuangan hanya lewat fisik. Ketika dihadapkan pada mereka perang pemikiran, mereka tidak tahu cara melawannya.
Para teroris itu sebenarnya telah ketinggalan zaman. Out of date. Mereka mengira hanya dengan senjata Islam bisa ditegakkan. Mereka tidak memahami zaman yang terus bergerak. Zaman dimana kini perang menjadi musuh bersama umat manusia. Zaman dimana kini manusia ingin kedamaian. Zaman dimana kini manusia lebih mencintai perang pemikiran, daripada perang fisik.
Bila para ustadz itu memahami makna jihad secara luas –Syekh Yusuf Qaradhawi melihat fenomena ini akhirnya menulis buku Fiqih Jihad yang tebal- maka tidak akan muncul teroris-teroris baru.
Jihad tercantum dalam Al-Qur’an, Hadits dan kitab-kitab para ulama. Tentu dalam hal ini harus dipahami dengan benar dan melihat konteks perubahan zaman. Ketika seseorang tidak mampu menangkap zaman (fiqhul waqi’), maka ia dapat salah memahami tentang jihad. Jihad memang harus terus digelorakan dalam diri seorang Muslim, tapi caranya dengan melihat perkembangan zaman. Jihad dalam bidang ilmu, politik, ekonomi, budaya dan lain-lain kini lebih dibutuhkan.
Kedua, salah memahami makna thaghut. Thaghut dalam Islam, bermakna sesembahan selain Allah. Para Nabi diseru hanya untuk menyembah Allah dan menjauhi thaghut. Thaghut bisa pula dikenakan pada orang-orang yang menyeru selain jalan Allah.