Kasus Persekusi dan Intoleran Tidak Boleh Terulang Lagi
Jakarta (SI Online) – Kasus dugaan persekusi dan intoleransi terhadap aktivis kembali terjadi. Kali ini menimpa Neno Warisman di Riau. Tindakan persekusi yang dilakukan “sekelompok masa tanpa bentuk” terhadap Neno Warisman itu terjadi di Bandara Sultan Syarif Kasim (SSK) II Pekanbaru, Riau, Sabtu (25/8/2018)
Mantan Komisioner Komnas HAM Maneger Nasution menilai, tindakan persekusi yang dilakukan “sekelompok masa tanpa bentuk” terhadap Neno Warisman yang sedang berkunjung sebagai warga negara ke Pekanbaru Riau adalah tindakan melawan hukum.
“Pertanyaan hukum dan HAM-nya, kemana negara/polisi? Oleh karena itu, kepolisian negara segera menjelaskan ke publik tentang dugaan kasus persekusi itu demi terpenuhinya hak publik untuk tahu tentang kebenaran informasi itu,” ujar Maneger melalui pernyataan tertulisnya, Ahad (26/8).
Menurutnya, dunia kemanusiaan sangat menyesalkan peristiwa itu. Hal itu mengancam hak-hak konstitusional warga negara serta mengancam masa depan demokrasi dan integrasi nasional.
Maneger menjelaskan bahwa setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal serta meninggalkan dan masuk kembali ke wilayah NKRI (Pasal 27 UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM). Bahwa hak atas kebebasan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan adalah hak konstitusional warga negara (pasal 28 UUDNRI tahun 1945, dan pasal 23, 24, dan 25 UU No.39 tahun 1999 tentang HAM).
“Bahwa Neno Warisman dan seluruh warga negara di seluruh teritori NKRI, termasuk di Riau, memiliki hak atas kebebasan berkumpul, berpendapat, memasuki/meninggalkan suatu daerah, rasa aman adalah hak konstitusional warga negara dan negara terutama pemerintah wajib hukumnya hadir memenuhi hak konstitusional warga negara itu (pasal 28G UUD1945, dan pasal 9 ayat (2) UU No.39 tahun 1999 tentang HAM),” jelas Maneger.
Dan sekiranya ada perbedaan pandangan antara satu pihak dengan pihak lainnya, masih tersedia mekanisme lain yang lebih elegan, efektif, dan berkeadaban untuk menyampaikan aspirasi atas suatu perbedaan pandangan dengan mengedepankan dialog. “Kalau pun akhirnya dialog tidak terwujud, sebaiknya tetap menggunakan saluran aspirasi atas perbedaan pandangan dilakukan sesuai mekanisme hukum yang tersedia. Jauhi tindakan main hakim sendiri,” tutur Direktur Pusat Studi dan Pendidikan HAM Universitas Muhammadiyah itu.
Menurutnya, tindakan main hakim sendiri di samping sangat tidak elok, tidak berkeadaban, juga tidak menyelesaikan masalah, tapi justru memproduksi kekerasan-kekerasan baru.
Sejatinya, kata Maneger, negara bisa hadir khususnya kepolisian negara untuk mencegah dan menginvestigasi peristiwa itu. “Pihak kepolisian negara harus memproses pelaku dan aktor intelektualnya secara profesional, independen, berkeadilan, transparan, dan tidak diskriminatif sesuai dengan hukum yang berlaku. Negara tidak boleh kalah dengan kelompok intoleran. Negara tudak boleh membiarkan impunitas,” ucapnya.
Ia mengingatkan kepada publik agar tidak terpancing dan terprovokasi serta menghindari tindakan kekerasan dan tindakan main hakim sendiri.
Pihaknya mendesak negara untuk memenuhi hak-hak konstitusional korban akibat tindakan intoleran tersebut. “Mendesak Negara untuk hadir utamanya pihak kepolisian untuk memastikan bahwa hal-hal serupa tidak terulang lagi di masa mendatang. Negara tidak boleh kalah dengan pelaku dan aktor intelektual tindakan intoleran,” jelas Maneger.
“Negara juga harus menjamin dan memastikan bahwa kasus dugaan persekusi dan intoleran ini tidak dieksportasi oleh pihak tidak bertanggung jawab ke daerah lain, demi keutuhan NKRI,” tandasnya.
red: adhila