Kazakhstan di Persimpangan Jalan, Mampukah Bangkit?
Awal 2022 ini Kazakhstan memanas. Negara terbesar kesembilan di dunia ini diguncang aksi protes sekelompok warganya. Memprotes kebijakan pemerintah yang mencabut kontrol harga pada gas minyak cair (LPG). Padahal banyak orang Kazakh yang telah mengubah mobilnya berbahan bakar LPG karena harganya yang murah. Demonstrasi bermula di wilayah Mangystau barat yang kaya minyak (CNN.com, 07/01/2022).
Mengutip dari Liputan6.com (07/01/2022), berdasarkan laporan The Astana Times, Jumat (7/1/2022), harga LPG naik hingga 120 tenge per liter atau Rp 3.952. Masyarakat menuntut agar ada price cap jadi 50 tenge setara dengan Rp1.646. Tuntutan pun diterima oleh pemerintah.
Aksi demo tak hanya dipicu oleh kenaikan harga LPG. Ada akumulasi kekecewaan atas pemerintahan oligarki dan otoriter. Kekecewaan atas korupsi yang merajalela, kesenjangan sosial ekonomi yang lebar. Serta kekecewaan atas pembungkaman pendapat.
Aksi pun meluas ke dua kota utama yaitu Nur-Sultan dan Almaty. Massa berhasil menduduki gedung-gedung pemerintahan dan membakarnya. Penjarahan pun terjadi di mana-mana. Presiden Kazakhstan Kassym-Jomart Tokayev menetapkan status darurat hingga tanggal 19 Januari atas respon kerusuhan tersebut.
Tokayev memerintahkan pasukan keamanan menembak “teroris”, sebutan pada massa aksi demo. Jam malam pun diberlakukan, bahkan jaringan internet diputus. Hingga Ahad, 9/1/2022, jumlah korban tewas sudah 164 orang dan 5.800 orang ditahan kepolisian (cnnindonesia.com, 9/1/2022).
Kerusuhan di Kazakhstan mengundang perhatian dunia. Terutama Rusia dan China. Sebagai negara bekas Uni Soviet, Kazakhstan berada dalam orbit Rusia. Pasukan aliansi keamanan pimpinan Rusia, Organisasi Pakta Keamanan Kolektif (CSTO) pun dikirimkan. Terdiri dari 2.030 pasukan dan 250 alutsista. Bagi Rusia, Kazakhstan adalah mitra ekonomi dan keamanan. Rusia bahkan membangun bandar antariksa di Kazakhstan. Maka bagi Rusia, penting menjaga stabilitas keamanan di Kazakhstan.
Jika Rusia yang satu daratan dengan Kazakhstan di sebelah Utara, maka ada China yang berada di Timur Kazakhstan. China mendukung langkah Rusia yang mengirimkan pasukan militer ke Kazakhstan untuk membantu memadamkan kerusuhan. China juga menawarkan diri sebagai “juru selamat” bagi Kazakhstan.
Bukan tanpa sebab China memberikan dukungan penuh. Kazakhstan seperti gesper dalam proyek Belt and Road China. Secara strategis, Kazakhstan menghubungkan pasar China dengan Asia Selatan yang besar. Menghubungkan pula dengan pasar Rusia dan Eropa yang berkembang pesat. Jalan perdagangan darat lewat jalur kereta api dan pelabuhan laut Kaspia melewati Kazakhstan. Dukungan China hanyalah untuk memastikan keamanan aset-aset ekonominya di Kazakhstan.
Kekayaan alam Kazakhstan memang diakui dunia. Kazakhstan menjadi negara produsen uranium teratas di dunia. Logam ini digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik tenaga nuklir. Akibat kerusuhan, harganya pun naik 8%, jelas mengkhawatirkan dunia global. Kazakhstan juga pengekspor minyak terbesar kesembilan dunia dan produsen batu bara ke-10. Letak geografis yang strategis menjadikan Kazakhstan sebagai jalur lalu lintas perdagangan darat maupun laut.
Dengan segala kekayaan alam dan letak geografis itu, kondisi rakyat Kazakhstan justru berbanding terbalik. Separuh dari penduduk Kazakhstan justru tinggal di pedesaan dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah. Sebanyak satu juta dari 19 juta jumlah penduduk Kazakhstan berada di bawah garis kemiskinan. Kekayaan hanya beredar pada segelintir orang, hanya orang-orang elit terutama penguasa yang bertahan hingga tiga dekade, Nazarbayev.