NUIM HIDAYAT

Keadilan Bumi dan Darah Syahid Hasan al Bana

Keadilan bumi ini melarang pengadilan bandingan dalam banyak hal untuk memutuskan batalnya putusan yang tidak adil, apabila ia tidak mendapat kesempatan untuk membantah hukum itu dari segi bentuknya. Kalau bentuk luar dari suatu perkara semuanya telah benar dan lengkap, maka Pengadilan Bandingan tidak dapat berbuat apa-apa lagi untuk ikut serta dalam perkara itu, walaupun untuk menyatakan kebenaran yang dilihatnya sendiri. Ia tidak dapat menghilangkan keadilan yang dipercayainya terdapat dalam perkara itu.

Walaupun Pengadilan Bandingan itu mendapat alas an untuk ikut serta berdasarkan formalitas yang ada, makai a juga tidak dapat berbuat apa-apa kalau ia tidak menemukan kesalahan dalam pelaksanaan hukum positif, bagaimanapun tidak adilnya putusan yang dijatuhkan itu.

Hakim Abdul Aziz Fahmi telah mengambil pendirian seperti ini dalam perkara al Badari. Ia tidak mendapatkan cara untuk menghilangkan ketidakadilan dan merealisasikan keadilan, kecuali jeritan yang terdapat dalam hati nuraninya, jeritan dalam menghadapi undang-undang bumi yang berdiri kaku diikat oleh prosedur-prosedurnya.

Pengadilan itu sendiri melakukan kesalahan. Kesalahan ini baru ketahuan setelah vonisnya dijatuhka. Ketika itu ia tidak dapat kembali lagi kepada yang benar. Setelah keluar vonisnya itu, persoalan tidak lagi berada dalam tangannya.

Aduh. Demikianlah pengadilan bumi yang melihat kebenaran dengan mata kepalanya sendiri, tetapi ia tidak sanggup untuk Kembali kepada kebenaran itu, karena perkaranya telah keluar dari tangannya, demi untuk menjaga tatacara prosedur hukum.

Sedangkan keadilan langit berkata: Kembali kepada yang benar itu adalah suatu sifat yang terpuji. Keadilan langit tidak melarang seorang hakim yang telah menjatuhkan vonisnya, tetapi setelah itu ia melihat kebenaran dan ternyata ia telah menjatuhkan hukuman dalam bentuk yang salah, untuk kembali kepada kebenaran, dengan jalan membatalkan putusan yang telah dijatuhkannya. Ia Kembali kepada kebenaran, karena kebenaran itu ia lebih pantas diikuti.

Tentu saja pengadilan lain mempunyai hak pula untuk kembali kepada kebenaran, kalau kebenaran itu telah tampak jelas baginya. Ia tidak perlu merasa terikat dengan tata cara prosedural yang telah lebih dipentingkan oleh pengadilan bumi, lebih penting dari keadilan itu sendiri, walaupun untuk itu perlu ditumpahkan darah orang-orang yang tidak berdosa.

Pada waktu kita menuntut agar Islam yang memerintah, pada waktu kita menuntut aar syariat Islam menjadi sumber perundang-undangan, sesungguhnya kita menuntut adanya suatu bentuk perundang-undangan yang lebih tinggi, dengan tata cara procedural yang lebih teliti, dan suatu keadilan yang lebih sempurna.

Orang-orang yang tidak berpengetahuan berkata: Apakah anda ingin kita mundur Kembali ke belakang kepada empat belas abad yang lalu?

Alangkah sombongnya. Alangkah bodohnya. Undang-undang kamulah yang lemah tidak berdaya. Perundang-undangan kamulah yang terbelakang dan kaku.

Syariat kami yang kami menyeru kamu kepadanya, tidak pernah membelenggu tangan seorang hakim untuk Kembali kepada kebenaran, di waktu manapun juga, di tingkat pengadilan manapun juga, walaupun setelah putusan pengadilan telah dijatuhkan. Dalam semua keadaan, seorang hakim berhak untuk kembali kepada kebenaran yang diyakininya.

Syariat kami tidak berdiri kaku dengan tangan terbelenggu dalam menghadapi ketidakadilan yang terjadi atau keadilan yang hilang, hanya untuk menjaga kehebatan procedural, tanpa mengindahkan kehormatan, keadilan, kebenaran dan pengadilan.

Laman sebelumnya 1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button