Kearifan Muslim Melayu Kepulauan Cocos-Australia
Kepulauan Cocos (Keeling) adalah sebuah wilayah kepulauan kecil terdiri dari dua atol dan 27 kepulauan koral yang beribu kota West Island ini terletak di Samudra Hindia yang saat ini dikuasai oleh Australia. Kepulauan ini berjarak sekitar 1000 km dari Jakarta dengan jumlah penduduknya sekitar 1000 jiwa (sensus 2005), dan 80 persen mayoritas penduduknya adalah Muslim keturunan Melayu dan Jawa.
Pada awalnya kepulauan ini tidak berpenghuni, Kapten William Keeling adalah orang Eropa pertama yang melihat pulau-pulau ini pada 1609, hingga pada abad ke Sembilan belas seorang pelaut pedagang bernama Clunies-Ross pada tahun 1827 memanfaatkan kepulauan ini sebagai tempat produksi Kopra Kelapa. (britanica.com) Ross membawa 98 orang pekerja dari wilayah Nusantara, seperti Jawa, Madura, Bali, Penang, dan Melaka.
Ditahun-tahun berikutnya beberapa orang keturunan Eropa dan Nusantara didatangkan lagi kesana sehingga pada tahun 1829 Cocos Island dihuni sekitar 175 orang dan 155 orang diantaranya adalah keturunan Melayu. Pengiriman pekerja dari Nusantara ini terus dilakukan hingga tahun 1874 jumlah pekerja yang berasal dari Nusantara disana mencapai 427 orang. Pada tahun 1886 Ratu Victoria menghibahkan kepulauan Cocos kepada George Clunies-Ross yang kemudian Ross didaulat untuk mengelola dan memimpin kepulauan tersebut hingga pada tahun 1955 Australia secara resmi menjalankan administrasinya di Kepulauan Cocos.
Kehidupan mayoritas muslim disana masih kuat memengang ajaran Islam dan juga budaya leluhur mereka. Muslim Cocos juga mengenal budaya “slametan” atau “kenduren.” Selain Bahasa Inggris mereka juga menggunakan Bahasa Jawa atau Melayu sebagai Bahasa kedua mereka. Mayoritas penduduk kepulauan Cocos tinggal di Home Island (Pulau Selma).
Ketika Hari Raya tiba segala makanan dihidangkan serta tradisi “sungkeman” masih berlaku disana. Dalam pergaulan mereka juga masih memegang teguh ajaran Islam, para pemuda-pemudi dilarang melakukan pacaran atau pergaulan yang menyimpang dari syariat Islam.
Selain keturunan Melayu dan Jawa, Kepulauan Cocos juga dihuni oleh warga Australia yang sudah membaur dengan penduduk setempat. Mereka yang muslim membangun masjid, memilih pemimpin (pengurus kampong/desa) dan menentukan perayaan-perayaan Islam.
Masyarakat dari berbagai latar etnis ini hidup berdampingan menjaga agama dan melestarikan budaya yang dibawa nenek moyang-nya ratusan tahun yang lalu.
Dalam hal pernikahan penduduk kepulauan Cocos masih menggunakan adat Islam Melayu dan Jawa. Bila ada muda-mudi yang sudah siap untuk menikah, maka satu-satunya jalan adalah lewat perjodohan (Ta’aruf), mereka berdua dipertemukan oleh pihak keluarga, jika diantara mereka saling menyukai dan siap untuk menikah, maka kedua keluarga langsung melamar (mengkhitbah) sang gadis tersebut.
Dalam keseharian berbusana, Muslim Cocos sangat memperhatikan syariat Islam, para wanita harus memakai jilbab dan kerudung. Ada beberapa hal yang harus dipatuhi oleh para wisatawan jika berkunjung kesana, mereka harus memakai baju yang sopan dan tertutup. Bila ingin masuk ke Masjid atau rumah warga juga harus melepaskan alas kaki, dilarang menyentuh bagian kepala anak-anak dan dilarang menggunakan tangan kiri dalam melakukan segala hal.
Bila bertamu kita juga dilarang mengetuk pintu depan rumah, namun tamu di haruskan masuk melalui pintu belakang, kecuali jika pintu depan terbuka.
Dalam hal pendidikan, karena kepulauan ini dikuasai oleh Australia, pemerintah Australia menyediakan sekolah-sekolah yang di operasikan oleh Menteri pendidikan Australia Barat. Setiap sekolah disediakan ruang sholat bagi pelajar yang ingin beribadah. (Australian.com.au.) kantin berlebel halal juga tersedia di tiap-tiap sekolah disana. Para pelajar menggunakan bahasa Inggris dalam aktivitas belajar, tingkat kehadiran pelajar di sekolah dasar dan menengah mencapai 93 persen.
Diantara 27 pulau di Kepulauan Cocos hanya ada dua pulau yang di huni, yakni Pulau Salma (Home Island) dan Pulau Panjang (West Island). Ada sekitar 450 warga muslim yang tinggal di Pulau Salma, pulau ini juga menjadi tempat berkumpulnya seluruh kaum Muslim Kepulauan Cocos.
Tradisi “Mudik” atau Balik Kampong juga tidak bisa dilepaskan dari budaya mereka, bila Hari Raya tiba Muslim Cocos yang tinggal di Pulau Panjang akan mudik ke Pulau Salma untuk bertemu serta berkumpul dengan sanak saudara.
Dalam hal kesenian, pertunjukan wayang kulit juga sesekali mereka adakan. Beda dengan wayang kulit yang ada di Nusantara, bahan yang digunakan untuk membuat wayang kulit di Kepulauan Cocos menggunakan kulit hiu kering. Namun karena sulitnya bahan dan generasi muda yang semakin sedikit bisa memainkan wayang, permainan ini kini sulit ditemui disana.
Toko yang menyediakan makanan dan minuman halal juga banyak tersedia di Pulau Salma, daging babi dan minuman berakohol dilarang masuk disana. Dengan begitu pasokan makanan halal bagi warga muslim benar-benar terjaga. Sejumlah pengamat memuji Muslim Melayu Cocos yang sangat religious dan menjaga agama dan budaya nenek moyang mereka.
Mayoritas kaum muslim Cocos Island bekerja sebagai nelayan, mereka biasanya melaut di sekitar kepulauan tersebut. Tidak sedikit dari mereka yang juga menyediakan jasa persewaan kapal atau peralatan selam bagi para wisatawan.
Penduduk Muslim Cocos Island dikenal sangat berpegang teguh dengan ajaran Islam dan memiliki sifat yang santun layaknya orang Asia Tenggara. Mereka hidup sederhana dengan kehidupan yang Islami serta sangat menjaga diri dari ide-ide barat dan pergaulan bebas. Sebagai generasi Muslim yang berakar dari tanah Nusantara mereka sanggup untuk tetap memegang teguh tali agama.
Mungkin masih banyak dari kita di Indonesia yang belum mengetahui keberadaan saudara-saudara mereka di kepulauan yang memiliki semboyan “Majulah Pulau Kita” ini. Karena memang letaknya yang terpencil di tengah Samudra Hindia sehingga hanya sedikit turis yang datang ke kepulauan ini. Padahal Kepulauan Cocos merupakan tempat indah yang memiliki potensi pariwisata internasional, ditambah keramahan penduduknya yang sangat agamis, menjaga adab dan kesopanan.
Walau muslim Cocos hidup dibawah pemerintahan Australia, namun mereka bisa menjaga akidah serta agamanya. Mereka juga tidak melupakan asal akar mereka yang berasal dari Nusantara. Generasi muda Islam disana juga mencintai Islam sebagai agama Rahmatan lil Alamin yang menyinari kehidupan di Cocos, dalam keterpencilan dan sedikit guru agama generasi Muslim Cocos tetap semangat dalam menimba ilmu agama, mereka tetap berpegang teguh dalam keyakinannya bahwa Islam adalah jalan hidup yang sempurna.
Penduduk Cocos Islands juga berharap ada saudara mereka dari Indonesia maupun Malaysia yang berkunjung kesana, karena mereka sangat merindukan bisa berkumpul dengan sesama saudara Melayu yang sudah lebih dari seratus tahun berpisah.
Gesang Ginanjar R.