Kebebasan vs Kebahagiaan
Untuk mencapai bahagia, kadang orang tidak bebas. Lihatlah para ulama yang dipenjara, tapi mereka tetap bahagia. Hamka dan ulama-ulama Masyumi yang dipenjara di era Orde Lama, mereka bahagia meski tercerabut ‘hak kebebasannya’. Mereka bahagia sehingga bisa menulis buku di dalam kerangkeng. Begitu juga tokoh yang lain, seperti Ibnu Taimiyah dan Sayid Qutb.
Bagi seorang Muslim, untuk mencapai bahagia -bukanlah ia bebas atau tidak- tapi sejauh mana ia bisa menaati Allah dan RasulNya (takwa). Seorang Muslim ingin bahagia, bukan hanya di dunia ini tapi juga setelah dunia ini berakhir (kiamat). Ia merasa bahagia kalau taqwa dan sedih/sengsara kalau mendurhakaiNya. Al-Qur’an menyatakan, “Barangsiapa taat kepada Allah dan RasulNya maka, ia berada dalam kemenangan yang besar (bahagia di atas bahagia).” (QS. al Ahzab 71)
Banyak ayat Al-Qur’an atau Hadits Rasulullah yang menyatakan bahwa perbuatan dosa menyebabkan hati yang keruh, alias menyebabkan ketidakbahagiaan.
Kalau dilihat dari kacamata Barat, maka kaum Muslim penuh dengan ketidakbebasan. Lihatlah hidupnya terikat dengan hukum-hukum Islam: mubah, makruh, haram, sunnah, wajib. Tidak ada aspek kehidupan yang keluar dari lima hukum itu.
Di Barat, atau selain agama Islam, tidak ada hukum yang lima itu (ahkamul khamsah). Mereka dalam hidup hanya mengandalkan akal, perasaan atau nafsu belaka. Sehingga jangan heran, kemudian di Barat timbul hal-hal yang aneh: banyak perempuan tidak perawan lagi di usia 15 tahunan, LGBT menjamur, pelacuran dimana-mana, riba/bunga Bank menjadi budaya, tipu menipu hal yang biasa dan seterusnya.
Bila demikian, apa makna kebebasan dalam Islam? Kebebasan dalam Islam, adalah bebas dalam penyembahan kepada makhluk. Bebas dari jeratan syetan/Iblis dan terutama bebas dari api neraka di akhirat nanti. Bebas dalam mengritik penguasa. Bebas melakukan amar makruf nahi mungkar. Bebas berhubungan langsung dengan Allah, tanpa perantara manusia (pendeta).
Kebebasan ini bila direnungkan, maka di dunia ini sebenarnya tidak ada manusia yang bebas. Kita lihat indera kita. Mata kita misalnya, kalau kita bebaskan ia melihat segala hal, termasuk pornografi, maka ‘akhlak kita bisa menjadi rusak’. Tangan kita, kalau kita bebaskan berulah mencuri atau membunuh misalnya, maka menimbulkan problem. Dan seterusnya.
Mata kita juga terbatas hanya bisa melihat ketika ada cahaya, atau hanya mampu melihat beberapa meter saja. Begitu juga telinga kita, hanya mampu mendengar dalam frekwensi tertentu. Tubuh kita makin tua makin tidak bebas dengan makanan yang masuk.
Manusia justru bisa bahagia, kalau bisa mengendalikan indera yang dimilikinya (alias tidak bebas). Syariat Islam mengatur tubuh dan indera kita agar bahagia. Maka syariat itu berfungsi menjaga agama, akal, jiwa, keturunan, dan harta.
Permasalahannya, kadang kaum Muslim sendiri ‘berlebihan’ dalam menggariskan syariat. Misalnya mengharuskan cadar, jilbab syar’i (padahal jilbab itu sudah syar’i, sebagaimana tidak ada istilah shalat syar’i), wajib jenggot, haram musik dan seterusnya.
Walhasil, kebebasan seringkali merusak, bukan membangun manusia. Bebas minum apa saja, termasuk minuman keras, maka akal menjadi rusak. Bebas hubungan seks apa saja, termasuk zina/gay/lesbian maka kehidupan menjadi rusak. Bebas membunuh siapa saja -dengan perlombaan senjata dan meluncurkan slogan kalau ingin damai harus siap perang- menjadikan rusak perdamaian dunia. Bebas menggambar apa saja –termasuk pornografi dan karikatur Nabi- menyebabkan rusak moral dan kehidupan (keluarga). Bebas berkarya, akhirnya muncul produk pornografi dan game-game yang merusak anak-anak. Bebas berpakaian, menyebabkan banyaknya pakaian semi telanjang dan perzinahan.