Kebohongan adalah Perkara Besar
Kebohongan Berganda
Tanda yang keempat dari Tanda-tanda Munafik yaitu, “Apabila bertengkar berlaku Curang”. Tentu saja dimaksudkan adanya dua pihak yang saling berselisih yang berujung pada pertengkaran yang biasanya bermuara pada permusuhan. Pertengkaran yang diwarnai dengan kebohongan dan sumpah serapah, diserta saling mengorek kesalahan dan aib pribadi. Dan untuk menangkal kehobongan yang dilakukan terpaksa membangun kebohongan baru, sehingga terjadi kebohongan berganda. Dampaknya tidak hanya pada kedua pihak, pihak lain yang berpihak apalagi sebagai pendukung, tentu akan menanggung akibatnya. Sehingga pertengkaran itu menjadi berjalin dan berkelindan yang mengakibatkan efek domino yang bakal meruntuhkan keharmonisan pergaulan masyarakat yang beradab.
Sebenarnya “bertengkar” sebagai dua pihak yang saling berhadapan, masih punya kerabat dekat, dalam pengertian pertandingan atau persaingan untuk kemenangan atau merebut posisi tertentu. Jika dilakukan dengan cara-cara yang curang, akan masuk kategori tanda-tanda “munafik”. Dan kecurangan yang paling dahsyat adalah kecurangan berjamaah yang dilakukan secara sistematis oleh mereka yang punya otoritas dalam berbagai lembaga resmi.
Kecurangan seperti ini bukan saja tidak sehat bagi pembentukan karakter anak bangsa, tetapi yang lebih parah merusak pembangunan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika tidak ditaubati tentu berisiko di dunia dan akhirat. Risiko terberat tentu saja seperti yang diungkap dalam Sabda Nabi SaW dan ancaman dalam Ayat-ayat Suci, “Sesungguhnya seorang hamba berdusta sekali sehingga malaikat menjauh darinya sejauh perjalanan satu mil karena busuknya apa yang diperbuatnya itu”. (H.R. Tirmidzi). Yang paling berat adalah resiko akhirat, Allah AwJ menyatakan, “Sesungguhnya, orang-orang munafik itu ditempatkan pada tingkatan paling bawah dari neraka. Kamu tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka”. (QS V, an-Nisa [4]. 145).
Meneguhkan STAF Pribadi
Kebohongan sebagai kerabat munafik adalah perkara besar yang dapat menyeret manusia masuk Neraka. Islam sejatinya menganggapnya sebagai Penyakit Jiwa yang menjadi basis kemunafikan yang bakal merusak keharmonisan pergaulan masyarakat yang beradab, bahkan merusak tananan kehidupan berbangsa dan bernegara. ”Orang-orang munafik selalu menyangka bahwa Allah dapat ditipu. Padahal sebenarnya orang-orang munafiklah yang tertipu oleh anggapan mereka sendiri. Apabila orang-orang munafik shalat, mereka melakukannya dengan bermalas-malasan, karena sekadar ingin mencari pujian manusia. Hanya sedikit sekali kaum munafik yang mau mengingat Allah.” (QS V, an-Nisa [4]. 142).
Obatnya tentu saja harus rajin Tilawatil Qur’an, membaca dan mendalami Ayat-ayat Suci karena di dalamnya terdapat obat Penyakit Jiwa yang mujarab. “Kami telah menurunkan ayat-ayat Qur’an untuk menjadi obat dan rahmat bagi orang beriman. Adapun orang-orang kafir ketika mendengar bacaan Qur’an, mereka semakin sesat karena mendustakannya”. (QS XV, al-Isra [17]. 82).
Untuk menyembuhkan Penyakit Jiwa dengan Ayat-ayat Suci pertama-tama memperkuat Pengawal Pribadi dan meneguhkan STAF Pribadi masing-masing.
Sejatinya setiap manusia memiliki Pengawal Pribadi yang setia dan tangguh. Pengawal itu adalah ‘Hati Nurani’ kita sendiri. Nabi SaW menyatakan, “Mintalah Fatwa pada Hati Nuranimu. Kebaikan itu Menenangkan Jiwa dan Mententeramkan Hati. Sedangkan perbuatan dosa meresahkan jiwa dan menimbulkan keragu-raguan, gelisah dan waswas dalam hati. Meskipun orang lain telah memberimu fatwa”. (H.R. Ahmad dan ad-Darimi dari Wabishah bin Ma’bad).
Al-Birr maknanya shilah (hubungan), sedekah, lembut, baik, sehat dan juga bermakna Husnul Khuluq (akhlak yang baik). Ar-Raghib berkata, “Menurut bahasa al-birr berarti ketaatan seseorang kepada Allah. Al-Birr dari manusia bentuknya Taat dan Al-Birr dari Allah berupa Pahala”.