Kecewa
Banyak pihak kecewa melihat pelantikan Kabinet baru pada Rabu pagi 23 Oktober 2019, di Istana Negara. Bagaimana tidak, saat-saat ini sudah mereka nantikan sejak beberapa bulan lalu. Bahkan di linimasa media sosial, telah ada prediksi susunan kabinet baru berkali-kali, tentunya buah karya netizen. Dan selalu mengundang reaksi, baik itu yang pro maupun kontra.
Kali ini melihat nama yang muncul dalam susunan Kabinet Indonesia Maju pun, kembali menuai reaksi beragam. Ada yang senang, juga ada yang kecewa. Ternyata yang kecewa masih terbagi lagi menjadi dua pendapat. Kecewa yang pragmatis, dan kecewa karena alasan ideologis.
Kecewa karena alasan pragmatis, sebab merasa sudah menghitung langkah sejak jauh-jauh hari. Merapat sebagai koalisi, berharap posisi untuk jagoan mereka. Sehingga mereka rela turut andil berlelah-lelah menyumbang suara. Bahkan tak sedikit yang rela mengorbankan harta.
Termasuk juga yang kecewa adalah rakyat yang menginginkan perubahan. Setia berjalan di koridor demokrasi sehingga akhirnya kecewa berat terhadap hasil pemilihan presiden (Pilpres) yang telah menghabiskan biaya hingga 25 trilyun. Sebuah angka yang fantastis, yang seharusnya bisa digunakan untuk pembangunan, perbaikan nasib umat.
Terlebih lagi kita telah saksikan ratusan korban meninggal. Begitupun halnya yang sakit dan hilang saat aksi setelahnya, tak terhitung banyaknya. Sungguh tidak sedikit pengorbanan umat dalam mendukung kebatilan. Maka bisa dibayangkan kekecewaan di tubuh umat menjadi teramat pedih.
Bahkan sekalipun kabinet yang baru ini mengusung ide kabinet kerja (kerja, kerja, kerja), dengan tampilan yang merakyat. Akan tetapi rakyat bisa melihat proporsi orang kaya dan pengusaha yang dominan. Sehingga rakyatpun sangsi, mereka kerja untuk umat, atau untuk kalangan sendiri. Bisa saja ini politik balas budi seperti biasa terjadi dalam demokrasi.
Kekecewaan demi kekecewaan terus terjadi hingga saat ini. Tidak hanya individu, namun juga mengenai level golongan. Sebagian pendukung Prabowo kecewa sebab ia kemudian memutuskan bergabung dengan lawan politiknya. Hal ini menggores kecewa yang besar di kalangan pengikutnya.
Dan ternyata kekecewaan juga menghinggapi sebagian pendukung Jokowi, setali tiga uang. Mereka akhirnya melakukan aksi ‘balik badan’ seperti yang pernah dicontohkannya sendiri. Tak ayal mereka pergi meninggalkannya, karena merasa ditinggalkan. Tidak dilibatkan hingga ke pucuk pimpinan. Akhirnya ‘balik badan’ menjadi gerakan seragam rakyat yang masih belum bisa move on dari demokrasi.
Inilah sistem kufur penghasil kekecewaan. Selama ia diemban oleh rakyat, selama itu pula rakyat akan kecewa. Sebab dalam demokrasi, tidak ada unsur ‘rakyat’. Semua aktivitas orang-orang yang berada dalam kepemimpinan hanya berkutat pada pelanggengan kekuasaan. Tujuan aktivitas adalah materi.
Akan selalu ada ruang kecewa di hati rakyat. Selama demokrasi menjadi wadah di negeri ini, selama itu pula tidak akan ada pemimpin baik yang lahir darinya. Seluruh persoalan rakyatpun tidak akan tuntas, malah sebaliknya akan beranak pinak dengan hadirnya masalah-masalah baru.
Berbeda dengan Islam. Tujuan menggapai rida Allah, membuat manusia muslim rela mempersembahkan aktivitas terbaiknya demi Allah. Oleh sebab itu, seluruh aktivitas yang mereka kerjakan sepanjang hidupnya, adalah aktivitas yang berkualitas tinggi. Sebab standar baik dan buruknya disandarkan pada nilai-nilai yang ditetapkan Allah.
Tidak hanya itu, Islam pun mampu menjadi mualajah bagi persoalan umat. Menjadi solusi terbaik, yang seharusnya umat menggunakan itu ketika menghadapi masalah. Baik itu ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan, pengurusan keluarga hingga mengurus negara, dan lain-lain.
Begitupun saat memilih pemimpin. Kaum muslim tidak akan sembarang memilih. Dengan berbekal Alquran dan Hadits, maka Islam juga akan melahirkan pemimpin-pemimpin terbaik. Sebab kedua hal inilah yang menjadi panduan untuk mengelola umat sejak masa Rasul hingga akhir zaman.
Sebagaimana pernah ditanyakan Rasulullah saat akan mengutus Mu’adz bin Jabal al-Khazraji ke Yaman, “Dengan apa engkau menjalankan pemerintahan?”
Mu’adz menjawab, “Dengan Kitab Allah.”
Rasulullah bertanya lagi, “Jika tidak ada?”
Mu’adz menjawab, “Dengan Sunah Rasulullah.”
Rasulullah bertanya lagi, “Jika engkau tidak menemukannya?”
Mu’adz menjawab, “Saya akan berijtihad dengan pikiran saya.”
Rasulullah berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan pemahaman kepada utusan Rasulullah terhadap yang Allah dan Rasul-Nya cintai”.
Hanya Islam yang mampu memberi bukti dari seluruh janji. Janji kemuliaan kehidupan dunia dan akhirat yang tersebar dalam nash Alquran, itulah sebaik-baik janji. Sebab Allah yang menyampaikan, Rob Penguasa langit dan bumi.
Maka selamanya tidak akan pernah ada ruang kekecewaan di hati umat, selama Islam diterapkan dalam urusan umat. Tinggal kini umat sendiri yang memilih, masih percaya janji manusia atau beralih kepada Allah. Wallahu ‘alam.
Lulu Nugroho
Muslimah Penulis dari Cirebon