JEJAK SEJARAH

Kekuatan Industri dalam Sejarah Peradaban Islam

Dalam pandangan Islam, politik perindustrian bukan sekadar pilihan, melainkan kewajiban (fardhu) yang harus dilaksanakan oleh sebuah daulah Islam. Sesuatu yang fardhu tentu tidak boleh ditinggalkan, sebab ia menjadi penopang kekuatan umat.

Sejarah peradaban Islam mencatat banyak jejak kejayaan industri, baik pada masa awal, pertengahan, hingga akhir.

Ketika Rasulullah Saw hijrah ke Madinah al-Munawwarah dan membangun negara Islam, beliau sangat memperhatikan pentingnya kemandirian dalam industri, termasuk persenjataan. Padahal saat itu senjata masih sederhana dan mudah dibeli. Namun, Rasulullah Saw tetap menganjurkan umat Islam untuk belajar memproduksi sendiri. Sebuah contoh monumental adalah penggunaan manjanik (ketapel raksasa) pada pengepungan Thaif.

Al-Waqidi dalam Kitab al-Maghazi meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bermusyawarah dengan para sahabat. Salman al-Farisi lalu berkata, “Wahai Rasulullah, menurutku engkau perlu membuat manjanik untuk merobohkan benteng mereka. Di Persia, kami membuat banyak manjanik untuk menghadapi musuh, dan mereka pun menggunakannya melawan kami. Tanpa manjanik, pengepungan akan memakan waktu sangat lama.”

Rasulullah Saw pun memerintahkan Salman membuat manjanik dengan tangannya sendiri. Bahkan, Khalid bin Sa’id datang membawa manjanik dan dababah dari Jurash, sebuah daerah di Yaman yang terkenal sebagai pusat industri persenjataan.

Berabad-abad kemudian, pada masa kekhalifahan Abbasiyah di bawah kepemimpinan Harun al-Rasyid, kemajuan industri kaum Muslimin kembali mengejutkan dunia. Sang khalifah mempersembahkan sebuah jam mekanik kepada Raja Charlemagne, penguasa Eropa yang masyhur. Ketika jam itu berdetak di istana, orang-orang yang hadir mengira ada jin Ifrit di dalamnya. Sebagian bahkan lari ketakutan, takjub sekaligus takut pada teknologi yang belum pernah mereka saksikan sebelumnya.

Puncak kejayaan industri militer Islam juga terlihat pada masa Sultan Muhammad al-Fatih dari Daulah Utsmaniyah. Seorang penemu bernama Orban pernah menawarkan rancangan senjata barunya kepada raja-raja Eropa, namun ditolak dan dianggap sesat oleh para pendeta.

Muhammad al-Fatih mengetahui hal itu kemudian menyambutnya dengan penuh hormat, mendanai karyanya, dan memberinya kesempatan untuk mengembangkan inovasi besar, yaitu sebuah meriam raksasa.

Di antara yang paling menonjol adalah meriam besar yang memiliki bobot sekitar 700 ton dengan proyektil seberat 12000 pounds. Untuk menyeretnya butuh 100 ekor lembu jantan serta ratusan tenaga manusia. Suara dentumannya bisa terdengar hingga belasan mil jauhnya, dan daya hancurnya mampu melumat benteng terkuat sekalipun.

Meski beberapa sumber menyebutkan spesifikasi yang berbeda-beda, namun penemuan meriam ini sudah lebih dari lima abad yang lalu di Daulah Islam Utsmaniyah yang membuktikan keagungan kekuasaan Islam dan kepeduliannya terhadap dunia industri.

Senjata inilah yang berperan besar dalam menghancurkan benteng-benteng Konstantinopel saat penaklukannya yang dilakukan oleh Sultan Muhammad al-Fatih tanggal 20 Jumadil Ula 857 H bertepatan dengan tanggal 29 Mei 1453 M, kemenangan agung yang mengguncang dunia.

Sejarah tersebut membuktikan bahwa umat Islam, sejak masa Rasulullah Saw hingga kejayaan Utsmaniyah, selalu memandang kekuatan industri sebagai salah satu pilar peradaban. Politik perindustrian bukan sekadar soal ekonomi atau teknologi, melainkan bagian dari strategi besar peradaban untuk menegakkan kekuatan dan menjaga kedaulatan.[]

Andrian Permana, Mahasiswa Ph.D di Jurusan Mechanical Engineering, KFUPM, Saudi Arabia.

Artikel Terkait

Back to top button