Kelezatan Ramadhan Tiada Tara
Bagi seorang Muslim bulan Ramadhan niscaya menjadi bulan dambaan. Kedatangannya amat sangat dirindukan. Karena amat dirindukan dan didambakan, maka doa berkaitan Ramadhan niscaya mohon kepada Allah SWT, agar setiap Muslim itu bisa mencapai dan melewati bulan Ramadhan yang akan datang: “Ya Allah Ya Rab, sampaikan umur kami sampai Ramadhan tahun depan!”
Momentum Ramadhan dengan segala amalan mulia yang mengiringi perintah-perintah Allah SWT di bulan suci, telah memberikan kenikmatan tiada tara bagi yang mengalami dan menghayatinya.
Tiap-tiap Muslim selalu ingin mereguk kembali amalan Ramadhan yang telah dirasakan sebagai kenikmatan santapan rohani tiada tara itu. Pengalaman Ramadhan pun mengajarkan bahwa manusia ternyata membutuhkan makanan rohani yang sama pentingnya dengan kebutuhan makanan jasmani. Inilah hakikat paling essensial makna Ramadhan yang sangat berarti bagi setiap Muslim.
Rasanya hanya ajaran Islam, yang tercermin pada amalan yang diperintahkan Tuhan dalam bulan Ramadhan, yang secara komprehensif telah memberikan keseimbangan bagi kehidupan manusia.
Perintah shaum atau puasa, kini kalangan kedokteran membuktikan amalan puasa itu telah memberikan manfaat bagi keseimbangan tubuh manusia. Dengan berpuasa, pencernaan di tubuh manusia diberi kesempatan beristirahat. Bagai mesin kendaraan melakukan overhaul, turun mesin untuk merehabilitasi keausan dari mesin yang telah usang.
Makna Ramadhan yang amat vital bagi umat Islam, apalagi di tengah umat Islam yang menjadi penduduk terbesar di Indonesia, rupanya tidak selalu berlangsung dalam suasana yang selalu kondusif.
Penguasa di negeri ini dari masa ke masa bahkan dari zaman kolonial penjajahan Belanda, menerapkan kebijakan yang pasang-surut. Suatu masa berkaitan ibadah Ramadhan, penguasa amat apreasiatif atau menghargai umat Islam yang amat mengagungkan Bulan Suci Ramadhan itu. Tapi seringkali muncul rejim atau oknum rejim yang secara sengaja justru membatasi keleluasaan umat Muslim untuk menjalankan amalan ibadah Bulan Suci Ramadhan.
Inilah yang terjadi pada era kepemimpinan Menteri P & K di bawah Dr. Daoed Joesoef yang dikenal sebagai tokoh sekuler dan pendiri lembaga CSIS itu.
Pada akhir 1970-an, Daoed Joesoef menerapkan kebijakan baru dengan menghapus liburan bulan Ramadhan bagi anak-anak sekolah di Indonesia. Kebijakan ini telah menghancurkan kemapanan suatu ritus yang telah menjadi wahana bagi umat Muslim untuk menikmati dan mereguk kelezatan Ramadhan.
Tiba-tiba aturan itu menghapus bahkan merusak irama yang yang telah mapan, dan telah menjadi semacam ritus sekian puluh tahun bahkan seratus tahun terakhir. Liburan anak-anak sekolah di bulan Ramadhan, sepanjang 45 hari telah menjadi “kawah Candradimuka” penggodogan mental para remaja. Lebih satu bulan anak-anak digembleng ilmu agama, melalui berbagai kegiatan Ramadhan: Sahur, buka puasa, Shalat Tarawih, Tadarus dan I’tikaf di masjid di malam hari.
Bagi para remaja ketika itu, datangnya Ramadhan ditunggu-tunggu. Itulah hari-hari yang paling membahagiakan. Lebih sebulan mereka total mereguk kelezatan Ramadhan tanpa memikirkan lagi urusan sekolah diganti menikmati pembelajaran rohani. Siang hari perut berlapar-lapar dan perutpun ditempelkan ke lantai masjid yang dingin. Isian dan gemblengan rohani seperti ini diyakini telah membentuk watak dan karakter generasi muda menjadi halus budi-pekertinya, jauh dari perilaku beringas yang dewasa ini menjadi fenomena akhlak anak-anak muda yang amat buruk.
Tawuran generasi muda yang yang kini menjadi trend—bahkan kini juga melanda para mahasiswa yang diharapkan menjadi calon pemimpin masa depan—Pada awalnya dimulai bentrok anak-anak sekolah tingkat SMA di kota-kota besar. Hal itu diyakini muncul sejak bulan Ramadhan dihapuskan liburannya di sekolah-sekolah. Generasi muda kini kosong pembinaan rohani yang amat dibutuhkan itu.