Keluarga Besar Mama Abdurrahim Cantayan Sukabumi; Mengurai Jejak Trah Walisongo di Jawa Barat

Pertanyaan introspektif bernuansa otokritik untuk keluarga besar Mama Abdurrahim Cantayan Sukabumi, andaikan Mama Abdurrahim hadir membersamai kita hari ini, apakah raut wajahnya menyiratkan rasa senang, tersenyum, gembira, atau sedikit muram, kecut, dan gelisah menyaksikan darah keturunannya hari ini, ternyata masih jauh dari bayangan doa yang selalu disenandungkan dan harapan yang selalu diimpikan, agar kelak menjadi para pembangun peradaban Islam di kawasan Jawa Barat khususnya dan Indonesia pada umumnya.
Mama Abdurrahim bukanlah Nabi Ibrahim a.s. yang berhasil membangun ka’bah dan menciptakan generasi para Anbiya selama ribuan tahun lamanya. Akan tetapi ratusan ulama telah tercetak dengan keberkahan ilmunya dan sepak terjang dakwah serta perjuangannya. Siapa yang tak kenal dengan sosok KH. Sholeh Iskandar (tokoh pejuang Bogor), KH. Noor Alie (“Singa” Bekasi), KH. Zaenal Muttaqin (pendiri UNISBA), KH. Masthuro (Pendiri Almasthuriyah Sukabumi), KH. Abdullah Syafi’i (pendiri perguruan Asyafi’iyah Pondok Gede)–untuk menyebut beberapa nama.
Belum lagi dari putra beliau baik dari Ibu Empok (Ma Empok, istri pertama) yang melahirkan KH. Ahmad Sanusi (pendiri Pesantren Gunung Puyuh Sukabumi), KH. Ahmad Nahrowi dll, maupun dari Ibu Eno (Ma Eno, istri kedua) yang melahirkan KH. Acun Mansyur (sesepuh pesantren Ibadurrahman Sukabumi, ayahanda dari KH. Fathullah Mansyur), KH. Damanhuri, KH. Dadun Abdul Qohhar (Pesantren Addakwah Cibadak, ayahanda KH. Muhammad a.r.), KH. Mamad Maturidy (pendiri pesantren Gunung Handeulem Bogor, ayahanda dari Prof KH. Didin Hafiduddin), KH. Bidin Saefudin (Cantayan, ayahanda KH. Khaerul Yunus, alm), Ibu Hj. Ammatul Jabbar (Edeng Nyai) dan KH. Abdul Malik (pesantren Ibadurrahman Sukabumi, ayahanda dari penulis sendiri).
Nama-nama ulama tersebut terkenal masyhur pada masanya dan harum hingga hari ini, meski sebagian besar cucu cicitnya sekarang mulai buyar ingatan akan sejarah perjuangan mereka.
Keluarga besar Mama Abdurrahim ada yang menjuluki sebagai keluarga “singa” atau “meong” karena pengaruhnya di bidang keilmuan dan dakwah. Namun ada pula yang menyayangkan karena kekuatan “singa” ini tercecer dan terpecah menjadi beberapa kubu atau faksi, sebagai akibat problematika di internal keluarga atau polarisasi pandangan dalam masalah-masalah tertentu yang kadang jadi pemantik pudarnya ikatan silaturrahim.
Jika kita tinjau lebih jauh bagaimana sesungguhnya napak tilas sejarah perjuangan Mama Abdurrahim, pertama dari sudut genalogis (silsilah nasab, dzuriyah atau keturunan) sebagai berikut:
Mama Abdurrahim adalah putra Mama Yasin yang sebelumnya berdomisili di Tasikmalaya dan ada hubungan keluarga dengan Keluarga Sukapura (abdi dalem atau “darah biru” raja-raja sunda, yang bersambung ke Galuh Sumedanglarang bahkan sampai ke Joko Tingkir dari pihak ibu). Mama Yasin adalah putra dari Abah Nurzan. Abah Nurzan putra dari Ki Nursalam. Posisi Ki Nursalam berada di persimpangan jalur silsilah; satu ke Banten lewat ayahnya yaitu Raden Alismin dan kedua ke Pamijahan Tasikmalaya hingga ke Sunan Giri (Gresik) putra dari Maulana Ishak (Asia Tengah, mendekati Persia) melalui jalur ibunya, yaitu Nyai Rd. Chandra binti Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan Tasikmalaya, dari istrinya bernama Sembah Ayu Baktah (leluhur dari keluarga dalem Sukapura Tasikmalaya).
Sekilas tentang ayah Ki Nursalam yaitu Raden Alismin, beliau adalah putra Raden Andih bin Ratu Balimbing binti Sultan Maulana Yusuf bin Sultana Maulana Hasanuddin bin Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Djati). Dari sinilah jalur silsilah bertemu dengan Prabu Siliwangi, Raja Pakuan Pajajaran yang masyhur se Nusantara bahkan Asia Tenggara.
Oleh karena putri Prabu Siliwangi yang bernama Rara Santang, bergelar Syarifah Mudaim (anak dari ibunda Nyai Subanglarang) waktu di Mekah dipersunting dan dinikahi oleh Syarif Abdullah, yang silsilahnya tersambung hingga Rasulullah SAW. Dari hubungan pernikahan ini lahirlah Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Djati, yang berdomisli di Cirebon) yang punya anak bernama Maulana Hasanudin, selanjutnya menjadi Sultan Banten.
Sedangkan persimpangan kedua Ki Nursalam dari pihak ibunya, yaitu Nyai Raden Cjandra, yang merupakan putri dari Syech Abdul Muhyi Pamijahan Tasikmalaya yang silsilah ayahnya yaitu Lebe Wartakusuma, merupakan Raja Galuh yang ke 6 (terakhir). Dan ibunya Syech Abdul Muhyi bernama Nyi Mas Raden Ajeung Tanganjiah merupakan cicit dari Sunan Giri Gresik Jawa Timur, melalui ayahnya Untol Sumbirana bin Pangeran Wiracandra, bin Pangeran Girilaya bin Raden Aenul Yaqin (Sunan Giri). Sedangkan Sunan Giri adalah putra dari Maulana Ishaq yang merupakan leluhur atau buyut dari pendiri dua ormas Islam terbesar di Indonesia yaitu KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan KH. Hasyim Asy’ari pendiri NU).
Menarik menelusuri Sunan Giri dan Maulana Ishaq ini yang nasabnya bersambung hingga Nabi Muhammad SAW melalui jalur Sayidina Hasan bukan Sayidina Husain, terlebih bila dihubungkan dengan jalur silsiah Ba’lawi. Apa buktinya?
Oranisasi NU Jawa Timur menelaah biografi KH. Muhammad Hasan Genggong (Probolinggo), yang merupakan salah satu ulama besar cicit dari Sunan Giri. Dikenal masyhur sebagai Mursyid Tarekat Qodiriyah Naqsabandiyah Jawa Timur, kemudian melalui cucu beliau bernama KH. Ahsan Hasan Malik, yang dikenal sebagai Gus Alex atau Nun Alex, telah melakukan test DNA, ternyata Syech Hasan Genggong, otomatis mengikat darah leluhurnya yaitu Sunan Giri, jalur silsilahnya bersambung kepada Sayyidina Hasan bin Ali/Fatimah Azzahra, melalui jalur Syech Abdul Qodir Aljilani (Persia). Dengan demikian terkonfirmasi bahwa Syech Abdul Qodir Aljilani (Sulthonul Awliyaa) merupakan buyut dari Sunan Giri. Masya Allah tabarokallah..