Kemenangan Donald Trump adalah Pelajaran untuk Demokrat
Dalam dua tulisan saya terakhir saya memang tidak cenderung memihak ke salah satu dari dua kandidat terdepan (front liners) calon Presiden AS; Kamala Harris atau Donald Trump. Setelah menimbang berbagai hal, baik kepentingan domestik maupun global, saya melihat keduanya sama. Keduanya memiliki hal-hal yang baik (positif). Namun juga keduanya memilki banyak hal yang buruk (negatif) dan mengkhawatirkan.
Oleh karena pemilu telah selesai dan salah satunya telah memenangkan pertarungan, saya tidak perlu lagi merincikan hal-hal baik maupun sebaliknya hal-hal buruk dari kedua sosok itu. Justru yang ingin saya sampaikan kali ini adalah beberapa faktor utama kenapa Kamala Harris, dan juga Demokrat kalah telak pada pertarungan kali ini.
Saya menyebutkan Kamala Harris kalah telak karena dia dikalahkan oleh Donald Trump baik secara jumlah daerah yang memilih (elektoral) maupun secara jumlah suara yang memilih (populer). Saya juga menyebutkan Demokrat kalah karena selain capresnya (Kamala) kalah dalam pertarungan, juga karena Republikan kali ini nampaknya berhasil merebut posisi mayoritas di Senat. Dan tidak menutup kemungkinan juga akan meraih suara mayoritas di Kongress (DPR).
Sebenarnya banyak faktor yang menjadi penyebab kekalahan Kamala Harris dan Demokrat. Walaupun secara umum saya tidak terlalu ingin mengaitkan calon politik di Amerika dengan Partai. Karena seringkali Partai tidak terlalu dominan dalam menentukan kemenangan atau kekalahan dari seorang kandidat. Donald Trump misalnya oleh sebagian pembesar Republikan justeru ditinggalkan. Keluarga Bush misalnya sama sekali tidak mendukung Donald Trump. Demikian pula Liz Cheney (putrì mantan Wapres Dick Cheney) juga menyatakan dukungannya ke Kamala Harris.
Empat faktor kekalahan Kamala
Faktor pertama yang menjadikan Kamala knockout (KO) adalah realita dalam empat tahun belakang ini terjadi krisis ekonomi yang cukup parah. Selain harga-harga kebutuhan pokok mengalami kenaikan yang signifikan, juga berbagai sektor perekonomian mengalami kelesuan. Inflasi yang meninggi menjadikan masyarakat menengah (middle income) ke bawah semakin terhimpit.
Kesulitan perekonomian yang selama ini dirasakan dampaknya oleh masyarakat Amerika dilihat terabaikan oleh pemerintahan Joe Biden-Kamala Harris. Sebaliknya seringkali lebih mengedepankan isu-isu hak pribadi (personal rights). Hak-hak pribadi yang secara umum juga sebenarnya tidak diterima oleh mayoritas masyarakat Amerika. Isu kesetaraan atau lebih tepatnya “penyamaan” jender misalnya, yang berimbas kepada hak-hak LGBTQ, bahkan legalitas perkawinan sejenis dan “trans gender” menjadi perhatian prioritas Demokrat ketimbang permasalahan ekonomi warga.
Permasalahan ekonomi juga tidak terlepas dari isu pendatang (imigran) yang semakin tidak terkendalikan. Slogan Trump untuk membatasi pendatang, bahkan janji mendeportasi warga asing di Amerika yang illegal, dilihat oleh mayoritas rakyat Amerika sebagai bentuk “heroistik” (kepahlawanan). Situasi imigran illegal ini memang cukup meresahkan. Di kota New York misalnya sangat terasa bagaimana keberadaan mereka banyak mengganggu kenyamanan dan keamanan warga. Biden-Harris dan Demokrat dipandang gagal menyelesaikan permasalahan imigrasi ini. Walau sesungguhnya permasalahan ini adalah isu warisan klasik semua pihak; Demokrat dan Republikan.
Tapi hal terbesar yang menjadi faktor kekalahan Kamala Harris adalah faktor nafsu dominasi global Joe Biden. Ada dua hal yang paling domina pada masa Biden-Harris ini. Pertama, peperangan Ukrain dengan Rusia. Dan yang kedua, perang Timur Tengah, khususnya Israel-Palestina. Saya ingin mengatakan bahwa Kamala Harris telah menjadi korban dari nafsu serakah bosnya (Biden) yang mengaku “non Jewish Zionist”.
Selain itu dengan peperangan-peperangan yang terjadi saat ini, dan berdampak buruk kepada perekonomian Amerika menyadarkan banyak warga Amerika jika telah masanya untuk mengurangi ambisi dominasi global itu. Hal ini yang kemudian didikan slogan oleh Trump dengan “America first” (Amerika pertama atau utamakan Amerika).
Ditambah lagi ada asumsi, khususnya di kalangan mereka yang bukan orang Amerika dan tidak tinggal di Amerika, jika Partai Demokrat itu memang selalu berambisi perang. Asumsi ini bisa benar. Namun juga bisa salah. Kalau kita melihat sejarah peperangan yang telah melibatkan Amerika, hampir peperangan-peperangan itu merata terjadi baik di saat Demokrat berkuasa maupun Republikan.
Sebagai contoh, perang telah yang merubah wajah dunia adalah Perang Amerika di Afghanistan melawan Taliban, yang kemudian berlanjut dengan perang Irak II. Perang ini tidak diinisiasi oleh Presiden dari Partai Demokrat. Tapi oleh Presiden Bush Jr dari Partai Republikan. Perang Afghanistan dan Irak II inilah yang melahirkan apa yang disebut Al-Qaidah, ISIS, dlll, lalu melahirkan konsep global “perang melawan terorisme” (war on terror). War on terror inilah yang kemudian menghancurkan Timur Tengah, dan dunia Islam, baik secara fisik (Irak, Suriah, Libya, dll) maupun secara mental (Negara-negara Teluk).
Poin yang ingin saya sampaikan adalah bahwa asumsi Demokrat selalu perang dan sebaliknya Republikan tidak, tidak selamanya benar. Tergantung situasi global dan juga karakter personal Presidennya. Di zaman Presiden Clinton misalnya hampir tidak ada peperangan besar yang terjadi. Justru Clinton terlibat membela umat Islam Bosnia dari ancaman pemusnahan etnis oleh Serbia ketika itu.