SUARA PEMBACA

Kemerdekaan Hakiki, Bebas dari Kolonialisme dan Neokolonialisme

Baru-baru ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) melontarkan sebuah pernyataan yang menarik. Presiden Jokowi mengatakan bahwa Istana Kepresidenan Jakarta dan Bogor merupakan warisan Belanda sehingga Pak Presiden selalu dibayang-bayangi dengan bau-bau kolonial. (CNNIndonesia.com, 13/08/2024).

Meskipun konteksnya membandingkan, tetapi bisa jadi pernyataan Pak Presiden ini seolah menambah daftar panjang pembenaran pentingnya memindahkan ibu kota negara dari Jakarta yang merupakan warisan kolonial ke IKN di Kalimantan Timur yang merupakan hasil produk anak bangsa. Pernyataan tersebut juga seolah memberikan kesan bahwa pembangunan IKN merupakan simbol untuk melepaskan bangsa ini dari belenggu kolonialisme.

Andai Pak Presiden mau membuka mata, IKN juga tidak lebih dari simbol kolonialisme itu sendiri. Tepatnya, neokolonialisme. Ironisnya, neokolonialisme ini justru dilakukan oleh tuan penguasa terhadap rakyatnya sendiri, khususnya rakyat Kaltim di sekitar IKN. Ya, para penduduk di sekitar IKN-lah inilah yang jelas-jelas merasakan penggusuran akibat pembangunan IKN. Kini, nasibnya pun diujung tanduk karena terancam kehidupannya.

Ditambah, adanya pemberian izin kepada investor untuk menguasai lahan IKN hingga 190 tahun yang termaktub dalam Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2023. PP ini seolah melengkapi Undang-Undang Cipta Kerja yang tertuang di dalamnya tentang izin penguasaan lahan oleh investor, terutama melalui skema Hak Pengelolaan (HPL) hingga 90 tahun. Lengkap sudah aroma kolonialisme di balik IKN.

Kolonialisme sangat identik dengan penjajahan (imperialisme). Cara ini tak lagi mencengkeram Tanah Air selepas kemerdekaan diraih oleh para pahlawan bangsa. Namun, tanpa disadari cara ini beralih rupa menjadi penjajahan gaya baru (neoimperalisme atau neokolonialisme) yang dampaknya justru sangat dahsyat dirasakan oleh rakyat.

Neokolonialisme ini dilakukan tanpa adanya pengerahan kekuatan militer, tetapi melalui hegemoni Barat atas negeri ini melalui dominasi ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Inilah yang tengah mencengkeram negeri, meskipun secara resmi mengecap kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.

Neokolonialisme ini tampak dari beberapa indikator di antaranya ketergantungan pada ekonomi dan utang luar negeri. Lihatlah, betapa gencarnya tuan penguasa mengundang investasi asing masuk ke dalam negeri, termasuk dalam membangun IKN baru. SDA pun diobral habis-habisan, sedangkan rakyat dicekik oleh makin besarnya pajak. Ironisnya, usaha rakyat kecil pun tergerus dengan makin membanjirnya produk impor dari Cina.

Utang luar negeri pun naik terus. Tercatat, utang luar negeri Indonesia pada kuartal II 2024 mencapai US$408,6 miliar atau setara Rp6. 409 triliun dengan asumsi kurs Rp15. 687 per dolar AS (CNNIndonesia.com, 15/08/2024). Ketergantungan terhadap luar negeri jelas makin mengokohkan kontrol asing atas negeri ini. Tidak heran jika kebijakan yang lahir pun kerap berpihak pada kepentingan kapitalis ini. Ujungnya, rakyat kerap kali dirugikan sehingga mendulang derita.

Dalam aspek sosial, liberalisme ala Barat pun menjadi kiblat bagi anak bangsa. Pola pikir dan pola sikap generasi muda diwarnai oleh paham kebebasan ala Barat. Gaya hidup hedonis, konsumtif, dan pergaulan bebas menjadi hal yang kerap dipamerkan di media sosial. Ironisnya, saat pergaulan remaja makin ngeri, negara malah mengeluarkan kebijakan yang mengizinkan aborsi dan zina yang termaktub dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024.

Andai kita mau menelaah, penjajahan baik kolonialisme maupun neokolonialisme, merupakan metode baku negara-negara kapitalis khususnya negara Barat, terutama AS, untuk menguasai dan menyebarluaskan ideologinya (An-Nabhani, Mafahim Siyasi, 2005). Oleh karena itu, untuk membebaskan belenggu kolonialisme dan neokolonialisme yang bercokol di negeri ini solusinya tiada lain adalah dengan mencampakkan sistem kapitalisme-sekularisme yang menjadi penggawa di negeri ini. Sebab, sistem inilah yang menjadi pangkal penjajahan negeri-negeri Muslim, termasuk Indonesia.

Di tengah perayaan HUT Kemerdekaan RI ke-79 ini, sebagai negeri dengan penduduk mayoritas Muslim, selayaknya kita bermuhasabah. Menyadari bahwa sudah terlalu lama negeri ini berada dalam cengkeraman neokolonialisme. Kini, saatnya melepaskan diri dengan sekuat tenaga dari cengkeraman neokolonialisme ini.

Sungguh, satu-satunya cara melepaskan diri dari cengkeraman neokolonialisme ini adalah dengan mengambil Islam sebagai satu-satunya sistem sahih dari Sang Pencipta dan menerapkannya secara komprehensif dalam seluruh aspek kehidupan. Hanya dalam naungan Islam niscaya kemerdekaan hakiki dapat dikecap. Wallahu’alam bishshawab. []

Jannatu Naflah, Praktisi Pendidikan

Artikel Terkait

Back to top button