Kemerdekaan Palestina Bukan dengan ‘Two State Solution’

Baru-baru ini, pernyataan anggota Kongres AS, Randy Fine, yang menyerukan penggunaan bom nuklir di Jalur Gaza sungguh memukul perasaan kaum muslimin. Pernyataan tersebut pun menuai reaksi dari kelompok mujahidin Palestina, Hamas, yang menyebut pernyataan itu “hasutan” untuk melakukan genosida terhadap rakyat Palestina. Hamas juga mengatakan, “Seruan ekstremis ini adalah kejahatan besar dan memperlihatkan mentalitas fasis rasis yang menguasai pikiran politisi Amerika,” (Tempo.co/24-05-2025)
Genosida di Palestina, khususnya jalur Gaza sampai saat ini terus terjadi. Bahkan Amerika, lewat anggota Kongresnya tersebut kian berani menampakkan visinya terhadap kehancuran Gaza. Sejatinya semakin nyata bahwasannya AS merupakan supporter utama di balik agresi Israel atas Gaza.
Sebelumnya, kita telah mengetahui adanya fakta bahwa AS senantiasa melakukan dukungan terhadap Israel. Sebagaimana dilansir oleh cnnindonesia.com (19-10-2024) bahwa penyuplai utama senjata ke Israel dalam rangka sarangan ke Gaza di antaranya adalah AS, Inggris, Jerman, Italia, Prancis, dan Spanyol.
Menurut laporan Institute Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm (SIPRI), pada 2023, Negeri Zionis mendapatkan sekitar 69 persen senjatanya dari AS.
Palestina Butuh Khilafah, Bukan Solusi Dua Negara
Agresi militer Israel terhadap Palestina telah mengorbankan ribuan nyawa rakyat sipil, khususnya anak-anak dan perempuan. Sebagaimana dilansir oleh Tempo.co (28-05-2025), otoritas kesehatan Gaza menyebut korban tewas sejak 7 Oktober 2023 sampai saat ini adalah lebih dari 54.000 orang.
Ini adalah tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah, sudah seharusnya dunia bergerak nyata untuk menghentikan semua ini. Apalagi kita mengetahui bahwasannya Israel menduduki Palestina dan melakukan genosida terhadap penduduknya sudah jauh sebelum 7 Oktober 2023, melainkan sejak tahun 1948 yakni saat lahirnya resolusi PBB yang membagi tanah Palestina untuk Israel. Di saat itu jugalah negara Israel akhirnya terbentuk pada 14 Mei 1948, memicu perang selama delapan bulan dengan negara-negara Arab.
Ironisnya, dunia hari ini seolah tak berdaya. Pemimpin negeri-negeri muslim tak mampu memberikan solusi nyata bagi kemerdekaan Palestina, melainkan sebatas melakukan diplomasi dan kecaman saja. Bahkan, tidak sedikit yang menyerukan two state solution (solusi dua negara), yakni membagi wilayah Palestina untuk tegaknya negara Israel demi tercapai perdamaian.
Hal tersebut jugalah yang disampaikan oleh Presiden Prabowo dalam konferensi pers (28/05/2025) saat kedatangan Presiden Prancis, Emmanuel Macron. Beliau mengatakan bahwa Israel memiliki hak untuk berdiri sebagai sebuah negara yang berdaulat, maka solusi terbaik adalah dengan two state solution. Benarkah demikian?
Palestina Milik Umat Islam
Palestina memiliki keterikatan yang sangat kuat dengan peradaban Islam, Khilafah Islamiyyah. Pada zaman Umar bin Khattab yakni pada 637 M, Palestina berhasil dibebaskan dari tangan Romawi dan menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Khilafah pada masa itu.
Kemudian pada 1099, Baitul Maqdis jatuh ke tangan pasukan Salib. Selama 88 tahun pasukan Salib menjajah wilayah Palestina, hingga akhirnya muncul seorang tokoh muslim yang gagah berani yakni Shalahudin Al-Ayyubi membebaskan Baitul Maqdis dari cengekraman pasukan Salib. Peristiwa tersebut terjadi pada 1187 M dan selanjutnya menjadi simbol kebangkitan dan kemenangan umat Islam.
Dengan begitu, status tanah Palestina adalah tanah kharajiyah. Artinya dari segi zatnya, tanah Palestina adalah milik kaum muslim selamanya. Kepemilikan seluruh kaum muslim di sini adalah atas fisik tanahnya. Adapun manfaatnya dimiliki oleh penduduknya.
Secara syar’i, kepemilikan atas manfaat tanah kharajiyah itu dapat berpindah kepada orang lain melalui waris atau tasharruf yang syar’i, seperti wasiat, jual beli, hibah, dan sebagainya. Namun, itu hanya sebatas manfaatnya, bukan fisik tanahnya. Status tanah kharajiyah adalah tetap hingga Hari Kiamat.