Keputusan Menag tentang Majelis Masyayikh Dinilai Cacat Hukum dan Harus Dibatalkan
Anggota Tim AHWA lainnya, KH. Agus Budiman, membeberkan proses panjang pemilihan Majelis Masyayikh yang ditugaskan kepada pihaknya. Terakhir, Tim ini berhasil menyeleksi bakal calon, selanjutnya Tim memilih 22 nama sebagai calon tetap Majelis Masyayikh.
Karena terdapat seorang calon yang menyatakan tak bersedia, akhirnya Tim AHWA menetapkan 21 nama. Sesuai peraturan, ke-21 nama inilah yang disampaikan AHWA kepada Menag. Tugas Menag selanjutnya, sesuai peraturan, mestinya menetapkan calon yang diajukan AHWA tersebut sebagai anggota Majelis Masyayikh dengan jumlah minimal sembilan orang hingga maksimal 17 orang.
“Namun, Menag bukannya menetapkan nama-nama calon yang disampaikan Tim AHWA, tapi malah memilih hanya sembilah nama,” tegas Kiai Agus Budiman. Kesembilan nama itu pun hanya berasal dari kelompok atau unsur pesantren salafiyah, dengan menafikan keberadaan wakil dari pesantren khalafiyah (modern).
Menurut Kiai Agus, sebetulnya Tim AHWA melalui musyawarah mufakat telah sepakat memutuskan agar jumlah anggota Majelis Masyayikh diambil maksimal, yaitu 17 orang. Alasannya, karena ini Majelis Masyayikh yang pertama, yang harus bekerja ekstra dalam menata organisasi dan membuat peraturan terkait penjaminan mutu pesantren.
Itu sebabnya, pihaknya mengajukan 21 nama, agar Menag menetapkan 17 orang di antaranya. Namun yang terjadi, Menag malah membonsai Majelis Masyayikh hanya terdiri sembilan orang, dengan menyingkirkan sebagian besar nama yang diajukan Tim AHWA.
Yang jauh lebih mengecewakan Kiai Agus, itu tadi, Menag dalam keputusannya melabrak prinsip proporsionalitas yang diamanatkan peraturan perundang-undangan, sehingga membuat keputusannya menyimpang. “Menag telah bertindak sektarian. Ini sungguh absurd dan keputusan sembrono,” tegasnya.
Ahmadie Thaha menyebut, dalam formasi Majelis Masyayikh tersebut memang tidak terdapat wakil dari pesantren muadalah. “Ini betul-betul penghinaan terhadap keberadaan pesantren muadalah,” katanya. “Bagaimana mungkin pemerintah menafikan keberadaan pesantren muadalah dengan tidak diberi wakil untuk duduk di Majelis Masyayikh?”
Itu sebabnya, dalam rapat tersebut Sekjen FKPM KH Lukmanul Hakim menyatakan akan berjuang sekuat tenaga untuk meluruskan keputusan Menag terkait Majelis Masyayikh. Jika Menag tak mencabut keputusannya, atau paling tidak memperbaikinya, bukan mustahil pihaknya atau pihak-pihak lain akan menggugatnya di pengadilan.
Dia menjelaskan, pihaknya di FKPM sungguh serius dalam membuat usulan nama-nama untuk dibawa Tim AHWA. Nama-nama itu telah digodog dan dibahas dalam beberapa kali rapat, dengan harapan Majelis Masyayikh dapat mengemban tugasnya yang berat meningkatkan mutu pesantren.
Namun, dengan komposisi Majelis Masyayikh seperti sekarang yang tak melibatkan beragam unsur pesantren, dia mempertanyakan kesungguhan Kementerian Agama dalam meningkatkan dan menjamin mutu pesantren.
red: farah abdillah