Keputusasaan Meningkat di Kamp Pengungsi Rohingya
Kegagalan repatriasi
Ambia Parveen, penjabat ketua Dewan Rohingya Eropa, menggemakan rasa frustrasi yang diungkapkan oleh pengungsi.
“Selama empat tahun terakhir, tidak ada perkembangan dalam repatriasi Rohingya ke Rakhine, Myanmar,” ujar dia.
Padahal, Panglima Angkatan Darat Myanmar Min Aung Hlaing yang juga ketua rezim kudeta, pernah berjanji untuk membawa kembali pengungsi Rohingya dari Bangladesh.
Parveen juga mengecam komunitas internasional atas kegagalan mereka untuk menjamin hak-hak orang-orang Rohingya selama bertahun-tahun.
“Mengapa komunitas internasional gagal melindungi Muslim Rohingya? Dan mengapa PBB dan badan pengungsi PBB, UNHCR, tidak bisa menekan rezim militer Myanmar untuk memulai proses repatriasi?” lanjut dia.
Mengacu pada langkah berani Gambia untuk mengajukan kasus genosida terhadap Myanmar di Mahkamah Internasional, Parveen mendesak Bangladesh untuk lebih vokal mendesak Myanmar.
“Mengapa Bangladesh tidak bisa mendorong rezim militer Myanmar untuk memulangkan pengungsi sesuai dengan MoU [antara Bangladesh dan Myanmar] yang dibuat dalam kesepakatan pada 2018? Mengapa Bangladesh gagal memulai dialog dengan para pemimpin Rohingya untuk menemukan solusi yang lebih baik guna mengakhiri krisis secara permanen?” cecar Parveen.
Bantu perjuangan Rohingya
Maung Zarni, salah satu pendiri dan juru kampanye HAM dan demokrasi Asia Tenggara, FORSEA, menyebutkan persepsi publik pascakudeta di Myanmar sebagai perkembangan yang signifikan.
“Opini publik kini memihak orang-orang Rohingya, yang sekarang menerima Rohingya sebagai bagian dari masyarakat Myanmar. Publik telah terang-terangan meminta maaf,” ujar dia.
Zarni pun mendesak Bangladesh, sebagai negara penampung satu juta pengungsi Rohingya, untuk memberdayakan para pengungsi secara aktif.