Kerinduan Pada Singa Podium, Habib Rizieq!
Entah dari mana saya, kenapa harus beliau, rasanya kok lancang mengungkapkan ini. Tapi mau gimana, kalau rindu bergelora maka betapa banyak orang lupa diri untuk menjaganya. Ya. begitu kata pepatah.
Setiap baca media, kerapkali melihat julukan ekstrem, keras bahkan radikal terhadap Habib Rizieq masih terdengar, terutama media yang memang kurang antipati dengan sepak terjangnya. Puncaknya adalah penjara dan pembubaran ormas sebagai kendaraan berjuangnya.
Mungkin sebagian mereka mengharap Habib akan menyerah dan bahkan takut lantas menutup diri dari medan juang yang telah diyakini serta konsisten dilakukan itu. Nyatanya itu hanya harap semu belaka. Semakin dibungkam justeru gerak langkah Habib makin moncer lagi terlihat nyatanya.
Mungkin kita bertanya, kenapa begitu?
Tak lain karena niat juga prinsip yang mendasarinya. Sesuatu yang dilakukan untuk, demi, dan karena Allah tak ada yang sia-sia dan dicemaskan. Sungguh, umur manusia tidak akan bertambah-berkurang berjuang atau tidak, maka kalau begitu beliau memilih berjuang. Lewat berjuang itu nyata untuk apa dirinya hidup. Sekalipun wafat, jelas darahnya dikorbankan atas keyakinan suci.
Kita gak tahu seperti apa peristiwa berdarah yang dialaminya, yang terhangat adalah peristiwa berdarah di tol yang menewaskan laskar FPI. Secara sederhana kia tahu siapa yang jadi target dan tujuannya apa. Tapi Allah menjaga siapa yang berjuang lurus di jalan-Nya. Mereka punya makar maka makar Allah-lah yang terbaik.
Di sini saya hanya bisa melihat dan mendoakan yang terbaik. Entah kenapa, akhir-akhir ini pikiran saya terfokus kepada sosok Beliau. Saya begitu rindu, kangen dan ingin sekali bertemu dengannya. Akan tetapi saya sadar siapa beliau dan jam terbangnya seperti apa. Terakhir kali melihat langsung sekitar 10-an tahun yang lalu di alun-alun Pandeglang. Saya hanya bisa melihatnya di kanal Youtube, itupun tidak bisa lama-lama.
Bukan saya benci, bukan pula bosan. Kalau lama melihatnya dada ini terasa sesak, mungkin begitulah rasa rindu kalau tak jua bersua. Saya gak bisa membayangkan rindunya para sahabat saat menyanyaksikan kepergian nabi, di saat yang sama kecamuk itu terus membabi buta. Tak ayal, malam mereka habis oleh luapan kerinduan. Tangis yang hanya para perindu yang tahu.
Untuk itu saya kerap merasa tergores atas sebutan yang kurang antpati dengan sepakterjangnya. Meskipun saya paham, seperti yang beliau utarakan: jangankan saya, Imam Syafi’i saja dicaci maki. Jangankan Imam Syafi’i Allah saja difitnah oleh mereka yang sesat dengan menuduh memiliki anak. Maka siapa saya?!
Begitu katanya, betapa besar jiwanya.