Ketika Anak Bakar Rumah karena Game, Kita Sedang Panen dari Sistem yang Rusak

Anak usia 9 tahun membakar 13 rumah karena terinspirasi dari game online (kompas.com). Berita ini membuat publik terkejut. Tapi, ini bukan kasus pertama. Sebelumnya, anak-anak lain mengemudi mobil hingga menabrak orang, mencuri uang orang tua demi top-up game, bahkan menjadi pelaku kekerasan karena meniru konten digital.
Masyarakat heboh. Ada yang menyalahkan si anak. Ada yang menyalahkan game. Ada yang menyalahkan orang tua. Tapi sayangnya, tak banyak yang menoleh ke akar persoalan yang sebenarnya yaitu sistem hidup sekuler-kapitalistik yang kita anut hari ini.
Anak 9 tahun belum punya daya berpikir yang matang. Tapi ia tumbuh dalam dunia yang memperkenalkan kekerasan sejak dini melalui game, media, dan tontonan yang bebas. Dunia di mana gadget menjadi “pengasuh utama,” menggantikan peran orang tua dan sekolah. Dunia di mana agama hanya hadir di pelajaran formal, bukan di kehidupan nyata.
Dalam sistem sekuler, agama dipisahkan dari urusan dunia. Pendidikan kehilangan tujuan membentuk akhlak. Keluarga tercerai-berai karena tekanan ekonomi. Negara lepas tangan terhadap nilai moral di media dan dunia digital. Inilah dunia yang membesarkan anak-anak kita.
Maka ketika anak bertindak ekstrem karena game, itu bukan kebetulan. Itu buah dari sistem yang membiarkan anak dibentuk oleh algoritma dan konten asing tanpa arah hidup yang benar.
Sementara itu, dalam sistem kapitalisme, yang dikejar adalah keuntungan. Game dirancang untuk adiktif, bukan mendidik. Semakin lama anak main, semakin besar keuntungan. Maka muncullah model “freemium” yang mendorong top-up, membuka peluang anak mencuri, memanipulasi, atau memanaskan emosi saat gagal menang.
Lebih parah lagi, tak ada sistem penyaring yang kuat. Anak bebas mengakses konten dengan kekerasan eksplisit, eksploitasi, dan manipulasi psikologis, karena negara tak hadir sebagai penjaga moral publik. Keamanan digital dikalahkan oleh logika pasar bebas.
Solusi Bukan Hanya Larangan, Tapi Sistem Hidup yang Mendidik
Larangan bermain game saja tak cukup. Yang kita butuhkan adalah sistem kehidupan yang bisa membangun orientasi hidup anak: bahwa hidup adalah ibadah, bukan pelarian. Kemudian, menjadikan keluarga sebagai madrasah utama, bukan korban tekanan ekonomi.
Kita juga membutuhkan sistem kehidupan yang mampu menyusun pendidikan yang bukan hanya mengejar nilai, tapi membentuk kepribadian. Dan tentunya mampu menghadirkan negara yang bertanggung jawab menjaga media dan teknologi sesuai standar halal-haram, bukan sekadar rating usia.
Dan semua ini hanya mungkin terwujud bila Islam dijadikan sebagai sistem hidup, bukan hanya ibadah personal. Wallahua’alam.
Selvi Sri Wahyuni M. Pd