Ketika Buku Saya Dilarang Masuk Toko Gramedia se-Indonesia

Ketika buku saya diterbitkan Pustaka Al-Kautsar (Maret 2014), saya gembira dan bersyukur kepada Allah. Upaya saya menulis beberapa tahun lamanya, kini jadi buku. Buku yang diterbitkan itu berjudul “Agar Batu Bata Menjadi Rumah yang Indah (Esai Esai Sosial Politik).”
Tapi kegembiraan itu tidak berlangsung lama. Beberapa hari setelah buku itu terbit, SA, Manajer Pemasaran Pustaka Al-Kautsar menghubungi saya. Ia menyatakan bahwa buku saya dilarang masuk toko buku Gramedia (se-Indonesia). Kenapa, tanya saya. Ia menyatakan bahwa karena di dalamnya ada artikel yang berjudul ‘Dari Kompas untuk Nurcholish Madjid.’
Saya kemudian termenung dan bertanya. Kenapa toko buku Gramedia yang bermotto ‘Imagination dan Transformed’ melarang buku saya masuk ke tokonya? Padahal buku-buku Pustaka Al-Kautsar yang lain leluasa masuk ke toko Gramedia.
Baca juga: Agar Batu Bata Menjadi Rumah yang Indah
Nampaknya Gramedia tidak suka atau ketakutan dengan artikel dalam buku itu. Di buku itu memang saya uraikan tentang jaringan Gramedia yang mendukung ide-ide Islam Liberal. Saya contohkan di situ lima buku, empat buku ditulis Budhy Munawar Rahman dan satu buku ditulis oleh Ahmad Gaus. Buku Budhy diterbitkan oleh Grasindo, buku Ahmad Gaus diterbitkan oleh penerbit Kompas.
Buku yang ditulis Budhy adalah “Argumen Islam untuk Pluralisme”, “Argumen Islam untuk Liberalisme”, “Argumen Islam untuk Sekularisme” dan “Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme.” Sedangkan buku Ahmad Gaus berjudul “Api Islam Nurcholish Madjid.”
Saya uraikan disitu bahwa buku-buku ini jelas-jelas bertentangan dengan Fatwa MUI (2005) soal Sekulerisme, Pluralisme dan Liberalisme. Saya uraikan di buku saya itu, ”Melihat buku-buku yang memuji Nurcholish yang saat ini nampaknya sengaja diproduksi besar-besaran, terus terang saya tidak tertarik untuk membacanya. Karena lebih dari 17 tahun lalu saya sudah mengenal Nurcholish. Ketika menjadi mahasiswa S1 di Institut Pertanian Bogor, saya sudah membaca beberapa buku Nurcholish. Sempat saya saat itu sedikit kagum terhadap tulisan Nurcholish bila bicara tentang ilmu, peradaban, sejarah, politik Indonesia dan lain-lain. Tapi bila ia bicara tentang hal-hal mendasar seperti masalah Tauhid, Kristen, Yahudi dan lain-lain, Nurcholish kelihatan otaknya ‘tumpul’ terhadap keagungan akidah Islam. Tidak berbeda bila kita baca buku-buku Orientalis, kadang-kadang juga ada informasi-informasi yang menarik tentang ilmu pengetahuan, peradaban dan lain-lain.
Ketika saya masih mahasiswa IPB, saya beberapa kali mengikuti acara seminar besar di Universitas Indonesia. Salah satunya adalah seminar yang dinamakan ‘PEDATI’ (Percakapan Cendekiawan tentang Islam). Saat itu kebetulan dalam sebuah sesi yang bicara adalah Nurcholish dan beberapa pembicara lain. Yang saya kaget, ketika selesai Nurcholish bicara, ia langsung ngeloyor pergi. Sehingga seorang wartawan senior berujar, ”Tuh kan dia pergi nggak mau dengar pembicara lain.” Ternyata hal yang sama saya saksikan terjadi berulang kali. Salah satunya adalah seminar di Universitas Paramadina. Kejadiannya hampir mirip, ia bicara mengungkapkan pikirannya, kemudian pergi. Ia akan bersemangat bicara dalam sebuah forum, bila ia sendiri yang bicara. Seperti saya saksikan (saat menjadi wartawan lapangan) ketika Jacob Oetama memberikan forum di Hotel Santika, menghadirkan Nurcholish sebagai pembicara tunggal.”
Buku saya ini, meski merupakan kumpulan tulisan, tapi di dalamnya adalah tulisan-tulisan serius tentang sosial dan politik yang saya kumpulkan beberapa tahun lamanya. Banyak judul yang menarik untuk Anda baca misalnya: Mengapa Kaum Muslimin Mundur, Parlemen Iblis, Akal Adab dan Kejayaan Bangsa, Untuk Apa Jadi Presiden?, Peradaban Islam Peradaban Ilmu dan Tulisan, Perbandingan Pemikiran Politik Mohammad Natsir-Hasan al Banna-Abul A’la al Maududi dan Taqiyuddin an Nabhani, Memilih atau Tidak Memilih, Nasihat Natsir-Al Fatih dan Ali bin Abi Thalib, Perang atau Diplomasi: Tanggapan untuk David Milliband Menlu Inggris, Keteladanan Mohammad Natsir, Demokrasi vs Teodemokrasi, Peran Penting Islam di Tanah Melayu, Nasib bahasa Indonesia, Terjebak Gelar, Catatan untuk Syafii Maarif: Jangan Berlebihan Memuji Prof Sahetapy, 22 Juni 1945 dan 5 Juli 1959, Kesatuan Piagam Jakarta dan Pancasila, Jangan Pertentangkan Islam dan Pancasila, Pemikiran-Pemikiran Penting Sayid Qutb, Tempo dan Islam, Wahid Hasyim vs The Wahid Institute dan lain-lain.
Saya bersyukur sebenarnya buku saya dilarang. Sebab, bagi seorang penulis kebanggaannya ‘hanya dua’, bukunya dilarang atau bukunya best seller. Buku best seller berarti banyak pembacanya. Buku dilarang berarti tulisan-tulisan dalam buku itu dianggap berbobot sehingga bisa membahayakan pemikiran pembaca.
Kita ingat bagaimana pemerintah Orde Baru dulu melarang buku-buku beraliran komunisme. Setelah Orde Reformasi buku-buku yang beraliran komunis, dibebaskan. Buku-buku yang ditulis Pramudya Ananta Toer kini -terlepas dari ideologinya- banyak dinikmati pembaca.
Buku memang bisa mengubah pemikiran seseorang. Buku yang bagus akan membuat pemikiran seseorang menjadi bagus. Buku yang buruk bisa mengubah seseorang menjadi buruk. Buku-buku pornografi misalnya bisa mengubah seseorang menjadi malas berfikir dan menjadi ‘generasi loyo’.
Ada kelompok dalam Islam yang melarang jamaahnya membaca buku-buku karya orang lain di luar jamaahnya. Akibatnya kelompok jamaah itu menjadi berfikir sempit dan akhlaknya menjadi kurang baik. Ia menjadi selalu curiga terhadap kelompok Islam di luar jamaahnya.