Ketika Buya Hamka Bertutur tentang Jiwa
Hamka kemudian bicara tentang pailit. Pailit di dunia masih dapat diobati. Kalau seorang ditimpa pailit pada waktu mudanya, masih banyak umurnya untuk berjuang, asalkan dia jangan putus pengharapan. Kalau dia sudah tua dan dia lekas matinya itu sebagai obat menghindari malu yang telah tercoreng di keningnya. Namun pailit dalam perjuangan hidup di akhirat adalah lebih hebat daripada, apa yang kita lihat sekarang.
Pada suatu hari, Rasulullah Saw bertanya sebagai menguji pada pailit itu. Abu Hurairah menjawab bahwa orang yang pailit adalah orang yang kehabisan dinar dan dirham, kehabisan harta benda.
“Bukan,” kata Nabi Saw, ”bukan itu orang pailit. Orang yang pailit dari umatku ialah yang datang pada hari kiamat, ada amal sembahyangnya, ada puasanya dan ada zakatnya, tetapi selama hidupnya dia memaki kesana, mencela kemari, mengambil harta si fulan, menumpahkan darah si fulan, dan menyakiti hati yang lain pula. Tiba-tiba sekalian kebaikan amalnya itu terpaksa diberikan kepada orang yang telah dirugikannya itu, kemari sebagian dan ke sana sebagian lagi. Nanti kalau tekor (kurang), kejahatan orang lain itupun ditimbunkan pada dirinya dan dia dilemparkan masuk neraka.”
Ketika berbicara tawakal, ulama yang produktif menulis ini menasihatkan orang-orang untuk mencontoh burung.
Burung-burung, mereka keluar dari sarang pagi-pagi buta, tidak mereka malas untuk mengipaskan sayapnya, terbang jauh-jauh mencari isi perut mereka. Kelak, bila matahari hendak terbenam mereka pulang dengan perut kenyang.
Burung-burung tidak mau tawakal hanya dengan bersembunyi atau menyerah, tetapi tidak berikhtiar karena yang demikian bukan bernama tawakal, melainkan pemalas.
Diri manusia sendiri adalah laksana intan. Intan itu akan keluar kilatnya kalau digosok.
Selama-lamanya ia akan tetap kabur, tidak dihargai orang jika hanya dibiarkan tinggal begitu saja, tidak diasah. Dalam perkataan itulah, tersimpul artian tawakal yaitu kerjakan, ikhtiarkan, sehabis daya dan tenaga. Kemudian itu, harus percaya dan harus yakin bahwa ia akan berhasil baik.
Pada suatu hari, baginda Amirul Mukminin Umar bin Khattab masuk ke dalam masjid. Di sana didapatkannya seorang sedang bermenung. Padahal waktu itu bukan waktu untuk iktikaf, melainkan waktu untuk mencari penghidupan. Umar ra bertanya, ”Mengapa engkau bermenung wahai laki-laki?”
“Saya bertawakal, wahai Amirul Mukminin.”
“Celaka engkau, kata Umar, ”dengan bermenung, engkau mengatakan tawakal. Ayo pergi dari sini, mencari penghidupanmu karena langit itu tidak akan menghujankan emas…”
Masih banyak hal yang menarik dibahas Hamka. Tentang filsafat setan, kerakusan terhadap harta dan lain-lain. Pokoknya sayang kalau karya ulama agung ini Anda lewatkan. []
Nuim Hidayat, Anggota MIUMI dan MUI Depok.