NASIONAL

Ketua MUI Harusnya seperti Buya Hamka

Jakarta (SI Online) – Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu harusnya seperti sosok Buya Hamka. Hal itu dinyatakan Nuim Hidayat penulis buku “Tokoh-Tokoh Islam yang Melukis Indonesia” di Jakarta, Rabu (19/02).

Dalam acara bedah buku di Perpustakaan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) itu Nuim menyatakan, Hamka punya sikap yang tegas dalam menghadapi masalah. “Ketika pemerintah menolak fatwa Natal Bersama yang dikeluarkannya, Hamka mundur,” terangnya.

Ia menilai Ketua MUI di masa sekarang cenderung kompromistis dan mendukung pemerintah. “Padahal pemerintah tidak selalu benar, pemerintah kadang-kadang salah. Di sinilah mestinya MUI meluruskan,”terang Wakil Ketua Majelis Syura Dewan Dakwah Depok ini.

Dana hibah yang datang dari pemerintah ke MUI mestinya tidak menjadi halangan MUI untuk mengoreksi pemerintah.

Seperti ketika MUI beberapa bulan mengeluarkan fatwa tentang haramnya salam lintas agama. Harusnya fatwa itu langsung ditujukan dan disosialisasikan kepada pemerintah. Dan pemerintah harusnya ikut fatwa itu bukan membantahnya. “Karena keahlian agama di tangan MUI, bukan di tangan pemerintah,” jelasnya.

Dalam kajian tokoh tentang Buya Hamka itu, juga diungkapkan bahwa Hamka adalah tokoh yang zuhud kepada dunia. Selama jadi Ketua MUI ia tidak mau mengambil gaji. Selain itu ia juga tidak mau mengambil upah dari pelayanan konsultasi yang dilaksanakan di rumahnya. Padahal hampir setiap hari puluhan orang datang untuk berkonsultasi dengannya. Sehingga anaknya pernah usul kepada Hamka agar disediakan kotak infak, tapi Hamka menolak.

Hamka sulit dicari tandingannya hingga kini. Karya yang ditulisnya lebih dari 100 buku. Selain itu ia juga dianugerahi doctor honoris causa dari Universitas al Azhar Kairo dan Universitas Kebangsaan Malaysia. Buku-bukunya selain beredar luas di tanah air, juga beredar di Kawasan Asia Tenggara.

Tulisan-tulisan Hamka memang mendalam dan menarik. Dalam buku Pelajaran Agama Islam misalnya ia menguraikan akidah Islam dengan menarik. Ia bukan hanya mengungkapkan dalil-dalil Al-Qur’an dan Sunnah, tapi juga memaparkan hal-hal itu secara aqliyah (diterima akal).

Hamka bukan hanya belajar pada ulama Timur Tengah, tapi ia juga belajar dengan para ulama di kampungnya dan ulama di Jawa. Ia berguru dengan Tjokroaminoto, Agus Salim dan lain-lain. Dengan Agus Salim ia sering bertemu dan bersilaturahmi di rumahnya.

Dengan Mohammad Natsir, pergaulan Hamka juga cukup akrab. Ketika di partai Masyumi itu, Hamka menulis puisi kepada Natsir,

Kepada Saudaraku M. Natsir
Di pertengahan 1950an itu…
Meskipun bersilang keris di leher
Berkilat pedang di hadapan matamu
Namun yang benar kau sebut juga benar
Cita Muhammad biarlah lahir
Bongkar apinya sampai bertemu
Hidangkan di atas persada nusa
Jibril berdiri sebelah kananmu
Mikail berdiri sebelah kiri
Lindungan Ilahi memberimu tenaga
Suka dan duka kita hadapi
Suaramu wahai Natsir, suara kaummu
Kemana lagi, Natsir kemana kita lagi
Ini berjuta kawan sepaham
Hidup dan mati bersama-sama
Untuk menuntut Ridha Ilahi
Dan aku pun masukkan
Dalam daftarmu…!

Puisi itu ditulis Hamka pada 13 November 1957 setelah mendengar uraian pidato Pak Natsir dalam Sidang Konstituante tentang Islam sebagai dasar negara RI.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button