Ketum Dewan Da’wah: Masa Depan Kejayaan Pendidikan Indonesia adalah Pesantren
Pada 1922, lanjut Adian, Ki Hajar Dewantara juga pernah menyampaikan kritik konsep pendidikan kolonial. Kata Ki Hajar, konsep pendidikan Belanda hanya menghasilkan lulusannya bermental buruh.
“Anehnya, banyak priyayi atau bangsawan yang senang serta menerima model pendidikan ini. Dan mengirimkan anak-anaknya ke sekolah yang hanya mengembangkan intelektual dan fisik, dan semata-mata memberikan ijazah yang hanya memungkinkan mereka sekadar menjadi buruh,” ungkap Adian menyitir pernyataan Ki Hajar Dewantara.
Kemudian, Direktur Attaqwa College, Depok, ini menunjukkan, konsep pendidikan pesantren sesuai dengan konstitusi negara yakni pasal 31 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.”
“Jangan diremehkan itu iman dan takwa dan akhlak mulia. Konstitusi sudah menggariskan. Untuk itu, amanah konstitusi ini harus dijalankan pemerintah. Sistem ideal itu pesantren yang menanamkan adab dan akhlakul karimah,” tegas Adian.
Dikatakannya, peran pesantren sudah terbukti dalam sejarah Indonesia. Pesantren memiliki kekhasan dan keunggulan dalam pendidikan Indonesia.
“Pesantren melahirkan generasi ’45. Pada masa penjajah pesantren banyak melahirkan pejuang dan ulama yang merebut kemerdekaan,” ujar Adian.
Sistem pesantren tak akan tergerus oleh zaman bahkan menjadi instrumen penting menuju masa depan kejayaan pendidikan Indonesia. Mengapa demikian?
Karena, menurut Adian, pesantren memiliki enam ciri khusus yang tidak dimiliki sistem pendidikan lainnya. Enam ciri utama pendidikan pesantren yakni: (1) keteladanan kiai dan guru (2) pendalaman ulumuddin (tafaqquh fid-din) dan cinta tanah air, (3) penanaman adab dan akhlak mulia (4) penanaman dan pelatihan kemandirian (5) penanaman jiwa dakwah (6) pemahaman pemikiran kontemporer.
rep: Fa’at/Bowo