KH Aceng Zakaria: Ulama Hebat Produk Pendidikan Lokal, Kualitas Internasional
Kyai Aceng bukan saja dikenal sebagai aktivis organisasi, tetapi juga seorang ulama, pemimpin pesantren, pejuang dan sekaligus penulis produktif. Saya mengenalnya sejak puluhan tahun lalu. Ia seorang Kyai yang ramah. Beberapa kali saya menikmati jamuan makan khas di atas kolam rumahnya yang asri di Kota Garut.
Di banding banyak ulama lain, tentu saja keunikan Kyai Aceng Zakaria adalah ketekunan dan kreativitasnya dalam menulis. Tidak mudah menulis 100 lebih judul buku di tengah berbagai kesibukan perjuangan sebagai muballigh dan pimpinan Persis.
Baca juga: Innalillahi, Mantan Ketum Persis KH Aceng Zakaria Wafat
Meskipun tidak pernah mengenyam pendidikan formal di Timur Tengah, Kyai Aceng memiliki penguasaan Bahasa Arab yang mumpuni. Dari 103 judul bukunya, 33 judul ditulis dalam bahasa Arab. Beberapa diantara bukunya termasuk kategori best seller, seperti: al-Hidayah fi Masaaili Fiqhiyyah al-Muta’aridhah, al-Muyassar fi Ilmi al-Nahwi, dan al-Kaafi fi Ilmi al-Sharfi.
Kyai Aceng Zakaria tidak memiliki gelar akademik apa pun. Secara formal, ia merupakan lulusan Madrasah Mu’allimin Persis Pejagalan Bandung. Tetapi, dialah yang mendirikan Perguruan Tinggi Persis di Kota Garut, yaitu Sekolah Tinggi Agama Islam Persis Garut.
Model Ideal
Menyimak kiprah dan karya ilmiahnya, Kyai Aceng Zakaria bisa disebut seorang ulama produk pendidikan lokal tetapi berkualitas internasional. Buku ini memberikan informasi tentang proses pendidikan ideal yang dijalani Kyai Aceng Zakaria. Model ideal itu adalah: “TOP” (Tanamkan adab sebelum ilmu; Oetamakan Ilmu-ilmu fardhu ain; dan Pilih Ilmu Fardhu Kifayah yang tepat).
Sejak masa kanak-kanak, Kyai Aceng dididik dengan adab yang tinggi oleh ayahnya, KH Ahmad Kurhi yang juga dipanggil Abah Engku. Sang ayah dikenal sangat menekankan ketekunan dan kekhusyukan beribadah. Bahkan, Abah Engku dikenal luas sebagai ulama tasawwuf. Ia sering mengajarkan ilmu tasawwuf bersumber dari kitab Hikam, karya Ibnu Atha’illah.
Hidup di lingkungan pesantren, disamping sekolah rakyat, Aceng kecil pun mengaji kitab-kitab kuning yang popular di kalangan pesantren, seperti Sullamut Taufiq, Safinatun Najah, al-Ajrumiyyah, Tijan al-Darariy, Imrithy, dan lain-lain. Di kemudian hari, Kyai Aceng mengaku telah mengkhatamkan kitab Ihya’ Ulumiddin karya Imam al-Ghazali. Disamping itu, Aceng muda pun aktif dalam Organisasi PII (Pelajar Islam Indonesia).
Jadi, sejak dini, Aceng telah dididik dengan adab dan ibadah yang ketat, serta memiliki pengalaman organisasi. Artinya, ia dibiasakan menjalani proses intelektualisme dan aktivisme secara seimbang.
Setelah menjalani proses pendidikan adab, ibadah, dan ilmu yang baik di lingkungan keluarganya, Aceng muda kemudian dikirim orang tuanya ke Pesantren Persis Pajagalan Bandung. Sejumlah ulama memang mendidik anak-anaknya dengan adab dan ibadah selama di rumah. Setelah adab dan ibadahnya baik, mereka mengirim anak-anaknya ke ulama-ulama lain untuk mempelajari berbagai bidang ilmu secara mendalam.
Kyai Aceng Zakaria pun menjalani proses semacam ini. Ayahnya mengirim Aceng kepada guru yang hebat di Pesantren Pajagalan, yaitu KH E. Abdurrahman, salah satu murid utama tokoh Persis, A. Hassan. Pesantren Pajagalan sendiri didirikan oleh A. Hassan pada tahun 1936. Tujuan Pesantren ini adalah: “mencetak kader-kader mubaligh Persis”.