KH Ahmad Dahlan: Tokoh Revolusioner Pendidikan Islam (1)
Ketika ayahnya wafat tahun 1869, KH Ahmad Dahlan akhirnya yang menggantikannya. Ia diangkat menjadi Khatib Amin KH Ahmad Dahlan. Yang diantara tugasnya adalah :
- Menjadi Khatib Shalat Jumat di Masjid Agung Yogyakarta, bergantian dengan delapan orang khatib yang lain
- Piket di Serambi Masjid Agung dengan enam orang kawannya, sekali seminggu
- Menjadi anggota Raad (Dewan atau Badan Penasihat) agama Islam dan hukum di Keraton Yogyakarta
Meski menjadi guru, Kiai Dahlan juga menjadi pengusaha batik. Ia dengan gigih merintis usaha batiknya sehingga berkembang pesat. Usahanya tidak terbatas dalam lingkungan Pasar Beringharjo, Yogyakarta tapi juga meluas sampai ke luar kota, seperti Solo, Magelang, Semarang dan Pekalongan. Hasil keuntungan bisnisnya ini untuk membeli buku dan kitab-kitab yang diperuntukkan untuk dirinya dan para santrinya.
Saat menjalani piket di Masjid Agung, Kiyai Dahlan juga menyempatkan diri memberikan pelajaran agama kepada fakir miskin, pedagang dan kaum Muslimin lainnya yang sering tidur atau istirahat di masjid.
KH Ahmad Dahlan juga perhatian terhadap arah kiblat di Musholanya dan Masjid Agung. Ia melihat bahwa banyak Mushola dan Masjid yang tidak pas menghadap kiblatnya. Masjid itu menghadap ke Barat, padahal harusnya agak condong ke utara, kurang lebih 23 derajat.
Kiyai Dahlan kemudian mengajak para ulama untuk bermusyawarah dalam hal ini. Maka ia mengundang puluhan ulama untuk hadir membahas masalah arah kiblat itu. Hadir dalam musyawarah itu 17 orang ulama dari Kauman, Lempuyangan, Pakualaman, dan Wonokromo. Dalam musyawarah yang berlangsung sampai menjelang Subuh itu, tidak dicapai kesepakatan. Masing-masing ulama berpegang pada pendapatnya. Ada yang menganggap salah arah kiblat itu dan ada yang menganggap sudah benar.
Beberapa anak muda yang mendengar musyawarah itu, kemudian berinisiatif meluruskan shaf di Masjid Agung. Tiga anak muda itu membuat tiga garis putih melintang di depan imam. Tentu saja kelakuan anak-anak muda ini membuat heboh masjid.
Meski pelurusan shaf di Masjid Agung itu menimbulkan heboh, musyawarah para ulama tentang arah kiblat itu didengar masjid-masjid lain. Maka beberapa bulan kemudian masjid di daerah sekitar Yogyakarta akhirnya mengikutinya. Masjid di daerah Prambanan, Muntilan, Kulon Progo dan Gunung Kidul akhirnya meluruskan kiblatnya yang kurang tepat.
Gagasan KH Ahmad Dahlan ini menimbulkan pro kontra di masyarakat. Banyak yang setuju, banyak juga yang menolak. Hingga akhirnya pada 15 Ramadhan 1899 terjadi tragedi pada Mushola KH Ahmad Dahlan. Mushola yang baru diperbaikinya itu dirusak dan dihancurkan oleh sekitar 10 orang atas suruhan Penghulu HM Khalil Kamaludiningrat dengan pengawalan polisi Belanda.
Beberapa hari setelah Musholanya dirobohkan, atas usulan Khalil Kamaludingrat kepada Sri Sultan Hamengku Buwono, KH Ahmad Dahlan diberhentikan dari jabatannya sebagai Khatib Amin di Masjid Agung Keraton Yogyakarta. Kiai Dahlan dianggap telah melanggar aturan dan juga keputusan ini dibuat untuk menjaga kerukunan umat Islam. (Bersambung)
Nuim Hidayat, Ketua Dewan Da’wah Islamiyah Depok