Khadavi, Korban Pembunuhan Polisi di KM 50
Kawanan harimau di wilayah Riau, protes atas penyelesaian kasus salah seorang kawan mereka. Sebab, Januari tahun lalu, Hakim menjatuhkan hukuman empat tahun penjara terhadap pemuda yang membunuh rekan mereka, tanpa hak. Pembunuh mungkin mau menjual kulit harimau yang dibunuh tersebut. Kawanan harimau tersebut tidak bisa berbuat apa-apa karena kawan mereka tidak dapat hidup kembali sekalipun pembunuhnya dihukum empat tahun penjara.
Di alam manusia yang konon paling Pancasilais, penganiaya Novel hanya dijatuhi hukuman penjara setahun dan setahun setengah. Padahal, sebelah mata Novel buta total dan yang lainnya hanya 25% berfungsi. Alasan jaksa dan hakim, pelaku tidak berniat jahat untuk mencelakai Novel.
Saya yang sarjana hukum dan delapan tahun berkhidmat di KPK saja, kurang mafhum atas alasan penegak hukum tersebut. Apalagi Khadavi yang masih berstatus mahasiswa. Wajar jika beliau ingin menjadi sarjana hukum agar dapat menegakkan keadilan. Mungkin dalam pikirannya, bagaimana subuh hari, dua polisi datang ke masjid tempat Novel shalat, kemudian menyirami wajah Penyidik KPK tersebut dengan air raksa, tanpa niat. Apakah niat mereka sebenarnya datang ke masjid untuk shalat berjamaah? Lalu sewaktu melihat Novel, timbul kegeraman mereka karena sakit hati atas apa yang dilakukan terhadap atasan mereka, beberapa waktu sebelumnya. Spontan, mereka mencelakai Novel. Sampai di sini, masih manusiawi alasannya. Pertanyaannya, dari mana air raksa yang digunakan untuk mencelakai Novel tersebut? Oh ‘niat’, di mana engkau berada?
“Puyeng” untuk bisa memahami jalan pikiran jaksa dan hakim. Tentu, jutaan warga negara Indonesia yang masih waras akan berpikir seperti saya. Wajar jika Khadavi bercita-cita, menegakkan keadilan.
Kekhawatiran saya, selama pemerintahan Jokowi, ratusan, ribuan, bahkan jutaan akan menjadi Khadavi baru. Bahkan, tujuh jutaan peserta 212 yang memadati Monas beberapa waktu lalu akan menjadi Khadavi-Khadavi baru. Apalagi dengan menyaksikan penahanan HRS, ulama, dan aktivis KAMI secara lebai dan semena-mena.
Khadafi Akan Wisudah
Khadavi mengambil jurusan perkapalan, salah universitas di Jakarta. Di depan saya dan empat anggota rombongan lainnya, Herman mengekspresikan wajah sedihnya sewaktu mengatakan, “September ini Khadavi akan diwisuda.” Seorang mantan Satpam dengan isteri yang hanya suri rumah membesarkan dan menyekolahkan kedua anak mereka. Kedua anak ini, terkenal saleh. Apalagi Khadavi biasa menasihati orang tuanya agar jangan gila dunia. Ingatlah kehidupan akhirat.
Tinggal selangkah lagi, Herman dan pasangannya akan menyaksikan anak sulungnya duduk di pelaminan, mengenakan pakaian kebesaran ‘toga’ sebagai seorang sarjana. Harapan tersebut pupus hanya karena kegilaan dan nafsu duniawi di hati polisi yang menganiaya Khadavi sampai tewas.
Terbayang, betapa bangga dan gembira ketika dengan isteri menghadiri satu persatu anak-anak saya wisuda. Tiba-tiba muncul gambaran syahdu di benak saya. Muncul kenangan sewaktu saya harus mengaduk semen sebagai kernek tukang bangunan di kawasan Cheras, Selangor, Malaysia agar bisa membayar uang kontrakan rumah. Bagaimana saya harus menjual pisang goreng dan air kelapa muda di tepi jalan, kawasan Ulung Kelang, Selangor, guna membeli perlengkapan sekolah anak-anak. Begitulah kira-kira perasaan dan kenangan seorang Herman dan jutaan Herman lainnya di pelosok negeri yang jatuh bangun membesarkan anak-anak dalam keterbatasan ekonomi keluarga.