Khalifah Umar Jamin Kebutuhan Anak
Tingginya kasus gizi buruk yang menimpa anak-anak dari hari ke hari semakin banyak. Salah satunya seperti yang dialami Dafa, balita usia dua tahun yang tinggal di ibukota mengalami gizi buruk yang hanya memiliki berat badan lima kilogram.
Kasus Dafa hanya sebagian kecil fakta yang dialami anak-anak sebagai generasi penerus yang nasibnya kian hari kian mengkhawatirkan.
Dan itu terjadi di negeri yang katanya tiap daerah mempunyai kantong kota layak anak, seperti ada KPAI, Dinas Sosial sebagai wakil pemerintah, lalu Unicef lembaga yang menjaga dan melindungi anak-anak dari tindak kekerasan, kekurangan gizi dan trafficking.
Lalu, ke mana peran mereka terutama negara sebagai tempat pertama dan satu-satunya harapan anak-anak di negeri ini? Bukankah kita masih ingat dalam UUD 45 pasal 34 menyatakan fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara? Apakah negara sudah melaksanakan kewajibannya sesuai UUD 45 pasal 34 tersebut?
Sudah seharusnya nasib anak-anak itu menjadi tangung jawab sepenuhnya penguasa saat ini. Penguasa/negara wajib menjamin semua yang dibutuhkan dari anak-anak sejak lahir hingga dewasa, apalagi orang tua sang anak sudah tidak mampu lagi memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya, seperti kesehatan, makanan yang halal dan baik, jaminan keamanan dan lainnya.
Padahal, pada masa kejayaan Islam, kebutuhan anak-anak sangat diperhatikan. Seperti yang dilakukan Khalifah Umar bin Khattab ra. Beliau membuat kebijakan dengan mengalokasikan kas negara untuk memberikan tunjangan kepada semua bayi yang sudah tidak menyusu lagi pada ibunya.
Ternyata hal tersebut menjadi masalah besar, pasalnya ketika itu, di suatu malam, Khalifah Umar mendengar suara bayi menangis, lalu beliau segera mendatangi sumber suara tersebut dan berkata kepada ibunya, “Takutlah engkau kepada Allah Azza wa Jalla dan berbuat baiklah dalam merawat anakmu,” kata Umar.
Tak lama kemudian, terdengar lagi tangisan sang bayi, Khalifah Umar pun mendatangi sang ibu. Beliau kembali ke rumah itu dan berkata kepada ibunya, “Kenapa aku masih mendengar anakmu menangis sepanjang malam?”
Sang ibu itu menjawab, “Hai tuan, sesungguhnya aku berusaha menyapihnya dan memalingkan perhatiannya untuk menyusu, tetapi dia masih tetap ingin menyusu. Umar ra bertanya, “Kenapa engkau akan menyapihnya?” Ibu itu menjawab, “Karena Umar hanya memberikan jatah makan untuk anak-anak yang telah disapih saja.” Umar menanyakan umur si bayi itu dan ternyata baru beberapa bulan.
Ketika shalat subuh Khalifah Umar pun menangis, bacaan shalatnya nyaris tidak terdengar jelas oleh makmum di belakangnya.
Usai shalat ia pun berkata pada dirinya sendiri, “Celakalah engkau wahai Umar, berapa banyak bayi kaum Muslimin yang telah engkau bunuh!” Setelah itu, beliau mengubah kebijakannya dan meminta pegawaikan untuk mengumumkan bahwa yang mendapat tunjangan bukan bayi yang disapih, tapi bayi yang baru lahir.