Khilafah Bukan Sebuah Ideologi, Camkan itu!
Bahwasanya, dalam Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila menurut beberapa ormas dinilai menghidupkan kembali paham komunis dan beberapa paham lainnya. Serta menyayangkan tidak memasukan TAP MPRS No. 25 Tahun 1996 tentang pembubaran Partai Komunis, yang menguatkan pendapat ormas Islam untuk meminta pemerintah dan DPR tidak menunda pembahasan RUU HIP melainkan untuk tidak bahas lagi atau dihapuskan saja karena tidak penting dengan kondisi sekarang. Lalu kenapa dibentur-benturkan antara khilafah dan Pancasila?
Lalu apa yang dipermasalahkan?
Saya kira banyak sekali pernyataan maupun hal lainnya yang masih perlu dikaji dengan cara berpikir yang positif oleh pejabat negara ketika memberikan pendapat, jangan sampai memberikan kesan yang tidak normatif dalam berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, apa yang dipermasalahkan dari penyejajaran Khilafah sebagai sebuah Ideologi yang dilarang?
Makna dari khilafah yang seolah dipandang sebagai sebuah paham oleh oknum atau kelompok tertentu. Pada pernyataan tertulis oleh Hasto tentang larangan ideologi marxisme-komunisme, kapitalisme-liberalisme, radikalisme, serta bentuk khilafahisme tersebut memberikan sinyal bahwa ada unsur ketidakpuasan dengan keberadaan paham Islam dalam sisi bernegara. Pun jika khilafah dipandang sebagai paham atau idelogi maka hal itu menjadi bagian bentuk permusuhan terhadap umat Islam.
Dalam permasalahan dalam pemaknaan dan penyebutan Khilafah menjadi Khilafahisme yang disampai tersebut melanggar Pasal 156a KUHP yang berasal dari pasal 4 UU No.1/PNPS/1965 yaitu Pasal 156a, barang siapa dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan : a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalagunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
Pun adalah bagian dari unsur sengaja untuk memusuhi, membenci atau menodai ajaran agama (Malign Blasphemies). Maka dari itu mengatakan khilafah sebagai ideologi, kemudian opinikan menjadi pernyataan kepada umum, ini merupakan sebuah penyalagunaan terhadap terminologi khilafah tersebut.
Kesimpulan
Pasal I UU PNPS menyatakan “Setiap orang dilarang dengan sengaja dimuka menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu”. Dari bunyi Undang-undang diatas, dapat disimpulkan pula, Khilafahisme dalam pernytaan Politisi PDI-Perjuangan tersebut sangat tidak relevan dengan apa yang didakwahkan dalam agama Islam.
Ditegaskan kembali, jikalau khilafah bukanlah sebuah paham tetapi suatu sistem kepemimpinan dalam islam. Maka dari itu perlu adanya pemahaman yang mendalam sebelum melakukan sebuah interpretasi dari sebuah statement dalam ruang lingkup publik.
Kita tahu bersama bahwa saat ini dalam kondisi yang tidak baik-baik saja, sehingga menjadi pejabat publik perlu menjaga polarisasi berbangsa dan bernegara. Dalam mempersoalkan suatu hal pun harusnya perlu memahami makna dari apa yang hendak dinyatakan, jangan sampai dari apa yang disampaikan menjadikan kita saling mengklaim persoalan ekstrimisme terhadap suatu ajaran dalam agama tertentu yang ada di Indonesia, dan itu sangat tidak kita inginkan dalam berbangsa dan bernegara yang baik.
Mari membangun Indonesia dengan hati.
.
Akrim Lahasbi
(Ketua Bidang Riset Dan Pengembangan Keilmuan IMM ITB Ahmad Dahlan Karawaci)