KIM Plus Tiada Guna, Anies akan Tetap Menyala
Jakarta itu harus diakui memang sebagai barrier politik nasional. Sepantasnyalah, ibarat miniatur Indonesia, Pilkada Jakarta itu pun masih kental mewarisi eskalasi jejak pertarungan perpolitikan antarpartai koalisi yang saling bertentangan secara paradoks di pemilu nasional lalu.
Itu hulunya diakibatkan masih terhalangi oleh barikade adanya PT 20% yang merangsek dan meringsek keberlangsungan demokrasi berkeadilan.
Seperti diketahui Pilpres 2024 di Indonesia menjadi salah satu pesta transisi demokrasi yang paling “fraudist“ dan “brutal” di dunia.
Maka, ketika KIM Plus muncul manakala hanya ditujukan sengaja untuk menjegal Anies—sebagaimana terjadi yang diperlakukan oleh partai oligarki status quo melawan Anies yang mengusung isu baru perubahan di pemilu nasional itu:
Sesungguhnya KIM Plus itu hanya menunjukkan fakta pembuktian bagi warga Jakarta disadarkan di antara koalisi partai mereka masih tersisa adanya arogansi dan anomali kekuasaan politik nasional yang kotor.
Padahal, dalam konteks Pilkada yang mengandung sublimasi unsur kedaerahan dan muatan lokal keotonomian : justru malah bisa mendungukan dan menerpurukkan keberadaan mereka sendiri.
Mengesankan citra adanya upaya mengintervensi dan mengkooptasi keberlangsungan “kebebasan” dan “kemurnian” Pilkada Jakarta tanpa campur tangan yang sebelumnya tak pernah terjadi selama ini.
Betapa tidak! Kehadiran KIM plus itu berati tiada guna. Mereka selalu tidak memberikan warna pencerahan (enligthment) bagi terjadinya refleksi ekspresi demokrasi yang cerdas dan rasional di level mana pun.
Parahnya, tetap saja memberikan warna dan citra kelabu dikarenakan masih adanya upaya pengelabuan cawe-cawe politik Jokowi yang takkan pernah lepas dari pengaruh kepentingan politik dinasti keluarganya yang dibentuk pada awalnya —secara langsung maupun tidak langsung:
Ketika ada pressure politik memaksakan Kaesang maju sebagai cagub/cawagub hanya gegara Kaesang sebagai Ketua Umum PSI cangkokan, namun realitasnya notabene lemah dan rapuh dalam menarik daya magnet elektabilitas publik warga Jakarta.
Karena selalu berorientasi meraih ambisiusisme kemenangan, tampak kentara kecerobohan dan ketololan KIM Plus yang pada puncaknya mengusung Ridwan Kamil-Akhmad Shaikhu sekalipun (dianggap kekuatan maksi paripurna KIM hingga ditandai plus mampu mengusir Anies) itu sampai melupakan resiko paling membahayakan bilamana dihadapkan akibat melawan kotak kosong.
Yang boleh jadi KIM Plus akan sangat dipermalukan, dilecehkan dan dihinakan jika kedua pasangan calonnya itu terbuktikan faktanya akan dikalahkan oleh kotak kosong itu.
Apalagi, kemudian menghalangi adanya upaya-upaya langkah politik progresif dan moderat untuk memberi ruang memudahkan dan kebebasan memajukan calon-calon independen.