Kisah Zendo: Filosofi Duren Lutfy Azizah dan Ojol Muhammadiyah

Di luar wilayah Tulungagung, Jawa Timur, nama Lutfy Azizah praktis tidak dikenal meski usaha layanan berbasis ojek online yang dirintisnya, Zendo, sudah beroperasi satu dasawarsa. Bahkan setelah bekerja sama dengan Serikat Usaha Muhammadiyah (SUMU) dan dipromosikan secara masif sejak bulan lalu, Januari 2025, publik lebih sering menyebut Zendo sebagai ‘ojek Muhammadiyah’ ketimbang sebagai rintisan Lutfi.
“Bagi saya tidak masalah Zendo dikenal sebagai ojek Muhammadiyah karena memang setelah bekerja sama dengan SUMU, Zendo bisa beroperasi nasional. Selain itu banyak tokoh, kader dan simpatisan Muhammadiyah yang punya peran dan saham dalam perkembangannya,” ujar sang CEO merendah.
Lutfi sudah dua kali menjadi tamu siniar (podcast) Pecah Telur, kanal YouTube yang mengkhususkan diri pada perjuangan pelaku UMKM. Pertama kali muncul pasca Covid-19 (“Gojek Lokal Wanita! Bagaimana Bertahan di Era Ojek Online”). Kemunculan kedua delapan hari lalu (“Dari Guru TK Gaji 150 rb/bln, Kini Punya Jaringan Ojek di Seluruh Indonesia”).
Saya sudah menonton kedua siniar. Perlu digarisbawahi sebagai bentuk penafian (disclaimer), bahwa saya tak punya hubungan kerja apapun dengan Zendo dan Lutfy Azizah. Tulisan ini murni sebagai bentuk dukungan saya terhadap UMKM, dan sebagai apresiasi atas kerja keras Lutfi serta kepedulian sosial Muhammadiyah–ormas Islam terkaya di dunia, dengan aset sekitar Rp400 triliun (Juni 2024)–melalui SUMU.
Lutfy lahir dari keluarga sangat sederhana di desa Bago, Tulungagung. Ayahnya buruh, ibunya tak bisa bekerja di luar rumah karena mengurus seorang adik Lutfi yang difabel. Maka saat di bangku pendidikan menengah, Lutfi bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Lulus SMA kendati berhasil tembus jalur PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan, sekarang “jalur undangan”), Lutfi tetap tak bisa kuliah. Tak ada dana.
Setelah berbagai pekerjaan serabutan dan sambil, Lutfi mulai merintis karier sebagai guru honorer di TK Aisyiyah Bangau Putih (2006 – 2010) dengan gaji Rp150 ribu per bulan. Kemudian menjadi staf akademik STAI Muhammadiyah selama sepuluh tahun (2009-2019). Di tengah kesibukan itu, dia menjadi tukang ojek. Prioritasnya mengantar anak-anak ke sekolah atau membelikan belanjaan di pasar bagi ibu-ibu yang punya kesulitan waktu belanja sendiri. “Mungkin saya perempuan tukang ojek pertama di Tulungagung,” ungkapnya.

Satu hari ketika masih bekerja di STAI Muhammadiyah, salah seorang dosen akan berangkat ke Tanah Suci menunaikan ibadah haji. Lazimnya tradisi di masyarakat, Lutfi mendatangi sang dosen dan menitipkan doa (mengharapkan sang dosen berdoa di depan Ka’bah). Tak dinyana sang dosen menolak.
“Sebaiknya kamu sedekah uang. Nanti saya berikan kepada yang berhak di Tanah Suci, tetapi yang berdoa tetap kamu dari Tanah Air,” kenang Lutfi mengulangi pesan sang dosen. Lutfi setuju.
Sebagai seorang perempuan, Lutfy pun berharap mahligai rumah tangganya berjalan sempurna. Sakinah, mawaddah, wa rahmah. Apa boleh buat, bahtera rumah tangganya karam dihempas badai samudera kehidupan, meski telah menghasilkan seorang anak lelaki.
“Dengan begitu kerasnya kehidupan yang saya alami sejak kecil sampai pernikahan pun zonk, membuat saya mutung kepada Tuhan,” ujar Lutfy. Ngambek.
Tak tanggung-tanggung dia sampai dua tahun tidak menjalankan shalat sebagai bentuk protes.
“Namun belakangan saya baru mengerti hikmahnya, tanpa ada rangkaian ujian hidup itu Zendo tak akan pernah muncul. Mungkin saya akan terus sebagai guru TK atau staf karyawan.”