Kisah Zendo: Filosofi Duren Lutfy Azizah dan Ojol Muhammadiyah

Singkat cerita setelah usaha ojek yang dijalankannya mulai dikenal masyarakat Tulungagung, semakin banyak permintaan membuat Lutfi kewalahan. Terpikir olehnya untuk mengajak perempuan lainnya sebagai tukang ojek. Maka lahirlah Zendo.
“Zen itu dari nama anak lelaki saya, sedangkan do dari delivery order. Sesederhana itu,” katanya. Secara resmi beroperasi pada 30 September 2015 dengan tagline “Apa Aja, Di mana Aja”.
“Apa Aja”? Ya, Lutfi tak membatasi jasa layanan pada antar anak sekolah atau belanja makanan atau kebutuhan rumah tangga di pasar. Zendo juga menerima permintaan untuk cleaning service, cuci mobil, isi bensin (bagi kendaraan yang mogok di jalan), tambal ban, membangunkan anak klien yang kos di desa, atau jika tinggal di luar negeri harus ditelpon non-stop sampai bangun (dan itu bisa sampai satu jam prosesnya), bahkan sampai … menjadi mata-mata orang yang diduga berselingkuh!
“Untuk kasus yang terakhir ini tak ada dokumentasinya untuk medsos karena dibutuhkan untuk BAP di pengadilan,” ujar Lutfi tergelak.
Dari keuletan Lutfi beroperasi dari tahun ke tahun itulah akhirnya bertemu jodoh dengan Serikat Usaha Muhammadiyah, yang mampu mengembangkan Zendo hingga mendapatkan izin operasional di 70 kota dan kabupaten, meski sampai awal Februari ini yang baru bisa ‘mengaspal’—istilah Lutfi untuk beroperasi, baru di 25 kota dan kabupaten.
Sisi unik lainnya dari Zendo adalah struktur organisasinya. “Meski saya pendiri Zendo, tetapi saya bukan pemiliknya. Pemilik Zendo adalah Allah subhanahu wa ta’ala. Baru di bawah pemilik ada saya sebagai CEO, dan ada struktur berikutnya,” ungkap Lutfi. Pola seperti itu diharapkan Lutfi bisa terus mengingatkan dirinya agar terus terkoneksi dengan Sang Maha Pencipta, bahwa semua pencapaian yang diraihnya sekarang bukan hasil kerja kerasnya semata, melainkan atas izin Sang Maha Kuasa Pemilik Alam Semesta.
Dari perspektif spiritualitas, Lutfi melihatnya sebagai fase ketiga dalam hidupnya. Fase pertama adalah mutung (ngambek) dan berprasangka buruk kepada Tuhan, fase kedua adalah percaya (lagi) kepada Tuhan, dan fase ketiga menjadi yakin bahwa dirinya hanya sebagai hamba dan tentara Tuhan yang diamanahkan tugas sebagai CEO.
Bak sebuah ungkapan ‘makin tinggi pohon, makin kencang tiupan angin’, posisi Lutfi dan Zendo pun keras dikritik di berbagai platform media sosial atau media online tersebab syarat bagi calon pengemudi di Zendo adalah harus bekerja dalam sif, selama dua pekan pertama tak boleh libur, dan sistem bagi hasil dengan persentase 20% untuk Zendo dan 80% untuk driver.
Tiga syarat ini paling banyak dikritisi warganet dengan sebutan “eksploitatif” dan “tak manusiawi.” Tak sedikit yang menyayangkan mengapa Muhammadiyah sebagai ormas Islam kedua terbesar di dunia, menerapkan sistem kerja seperti ini.
Lutfi menjelaskan bahwa sistem kerja sif diperlukan berdasarkan pengalamannya bahwa klien hanya akan memakai Zendo jika kapan pun mereka butuhkan layanan tersedia.
“Jika pada waktu yang mereka inginkan kami tak bisa memberikan layanan, sudah pasti mereka tidak akan pernah menghubungi kami lagi,” ujar Lutfi. Ini berkaitan dengan aturan dimana driver baru tidak boleh libur selama dua pekan pertama bekerja.
Adapun untuk sistem bagi hasil dengan persentase yang dinilai tidak manusiawi bagi driver, Sekretaris Jenderal Serikat Muhammadiyah, Ghufron Mustaqim, menjelaskan aturan ini dirancang berdasarkan pengalaman lapangan selama sembilan tahun dalam menghadapi berbagai tantangan.