SUARA PEMBACA

Kisruh Kuota Tambahan Haji Khusus

“Tidak ada penyalahgunaan kuota tambahan haji tahun 2024,” tegas Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Ia dicecar berbagai pertanyaan perihal kuota tambahan haji jalur khusus. Pada tahun ini, kuota haji Indonesia mencapai 221.000 jemaah, yang terbagi atas 203.320 jemaah haji reguler dan 17.680 jemaah haji khusus. Selain itu, Indonesia juga menerima tambahan kuota sebanyak 20.000, yang masing-masing dibagi menjadi 10.000 untuk jemaah haji reguler dan 10.000 untuk jemaah haji khusus. (Kontan, 22-6-2024)

Dengan kata lain, kuota jemaah haji reguler menjadi 231.000 orang dan haji khusus sebanyak 27.680 orang. Di sinilah kisruh kota tambahan haji mengemuka. Dalam UU Penyelenggaraan Haji dan Umrah pasal 64 menyatakan jumlah kuota jemaah haji khusus maksimal 8% dari total kuota haji per tahun. Artinya, jika memakai kuota haji beserta tambahannya pun seharusnya jumlah kuota jemaah haji khusus maksimal 19.280 orang, namun faktanya melebihi apa yang sudah ditetapkan dalam UU tersebut.

Dugaan penyalahgunaan kuota tambahan haji khusus disorot DPR hingga membentuk Pansus Angket Haji DPR. Hal ini diperkuat dengan laporan kelompok masyarakat sipil Front Pemuda Antikorupsi (FPAK) ke KPK belakangan ini. Mereka melaporkan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dan Wamenag Saiful Rahmat Dasuki perihal pengalihan kuota haji reguler ke haji khusus dalam penyelenggaraan haji 2024.

Rawan

Di Indonesia, masyarakat muslim sangat antusias tentang ibadah haji. Mereka rela antri panjang bertahun-tahun dengan penuh kesabaran untuk bisa memijakkan kaki di Baitulharam. Tidak sedikit cerita penuh haru calon jemaah haji yang telaten mengumpulkan pundi-pundi uang demi bisa berangkat ke tanah suci. Semua itu dilakukan karena dorongan iman agar rukun islam yang kelima ini dapat mereka sempurnakan dengan sebaik-baiknya.

Sayangnya, penyelenggaraan ibadah haji bisa jadi peluang korupsi dan rawan disalahgunakan., seperti yang terjadi pada kuota tambahan haji khusus. Alasan terkuat dugaan pengalihan alokasi haji regular ke haji khusus adalah profit. Sebab, haji khusus memiliki banyak keuntungan jika dibandingkan dengan jalur haji reguler. Di antaranya, lokasi penginapan dekat dengan Masjidilharam, fasilitas mewah dan lengkap, waktu tunggu  atau antrean berangkat haji paling lama enam tahun.

Dengan biaya haji khusus yang mahal, kira-kira siapa yang mampu membayar jika bukan kalangan pejabat, selebritis, dan orang-orang kaya? Siapa pula yang berpeluang besar ketiban untung jika kuota haji khusus bertambah? Jika memang terjadi penyalahgunaan kuota, sudah semestinya KPK selaku lembaga antirasuah menyelidiki dan menindaklanjuti laporan dari masyarakat terkait hal ini, jika tidak ingin kepercayaan masyarakat makin merosot, bahkan hilang sama sekali.

Di alam kapitalisme, setiap ada peluang  cuan, kesempatan selalu datang. Bisa dengan proyek-proyek berhadiah investasi atau penyelenggaraan program-program kerakyatan dan keumatan, salah satunya penyelenggaran ibadah haji. Kerawanan tersebut dilihat dari dua sisi, yakni dana dan kuota haji.

Tidak sepatutnya ibadah haji yang sakral dimanfaatkan dan disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau golongan. Mestinya, negara memastikan pelaksanaan ibadah haji berjalan dengan nyaman dan amanah. Bukan sekadar lancar dalam penyelenggaraannya, tetapi juga amanah dalam menjalankan tugasnya sebagai pelayan umat.

Pandangan Islam

Haji merupakan bentuk ibadah seorang hamba kepada Allah Taala. Para calon jemaah haji adalah tamu Allah yang layak diperlakukan dengan baik. Di masa peradaban Islam, negara menyelenggarakan pelaksanaan ibadah haji dengan penuh tanggung jawab, di antaranya:

Pertama, negara menyiapkan berbagai sarana haji tiga bulan sebelum musim haji datang. Di masa Utsmani, wilayah Syam menjadi pusat pertemuan jemaah haji Arab, Persia, Kurdi, Turkmen, India, Georgia, Albania, Afganistan, dan sebagian jamaah yang berasal dari Asia Tenggara yang datang melalui jalur darat. Sementara, wilayah timur Islam yang lain, antara Damaskus dan Hijaz adalah jalur yang paling pendek untuk kafilah haji yang berangkat untuk menunaikan ibadah haji, begitu juga kafilah dagang sejak dulu, dan zaman sebelum Islam. (Mahadsyarafulharamain, 8-8-2016)

Kedua, negara memfasilitasi kemudahan infrastruktur transportasi darat, laut, dan udara sesuai konsekuensi biaya yang harus ditanggung calon jemaah haji. Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Hamid II, Daulah Islam saat itu membangun sarana transportasi massal dari Istanbul, Damaskus, hingga Madinah untuk mengangkut jemaah haji. Pada masa Daulah Abbasiyah, Khalifah Harun ar-Rasyid membangun jalur haji dari Irak hingga Hijaz (Makkah-Madinah). Di setiap titik tersebut dibangun posko layanan umum yang menyediakan logistik, termasuk dana zakat bagi mereka yang kehabisan bekal.

Ketiga, negara mengatur kuota haji dan umrah. Dalam pengaturan saat ini, siapa saja yang bermodal besar berpotensi melakukan haji berulang melalui jalur khusus. Maka, negara mestinya memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa kewajiban haji  dan umrah hanya berlaku sekali seumur hidup. Kewajiban ini berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat dan berkemampuan. Negara harus memprioritaskan calon jemaah haji yang belum pernah melakukan haji dan umrah yang juga memenuhi syarat dan berkemampuan.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button