Kita Butuh Oposisi Non Parlementer seperti KAMI
Kemunculan KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) yang dideklarasikan sehari setelah HUT ke-75 Republik Indonesia terus memancing beragam komentar hingga hari ini. Ada kelompok pro, ada yang kontra. Kelompok kontra umumnya menilai gerakan KAMI punya motif politik, sehingga mereka disarankan menjadi organisasi massa atau partai politik saja.
Saya melihat apa yang disuarakan KAMI sebenarnya hanya meneruskan kegelisahan masyarakat saja. Bagaimanapun, kekuasaan memang butuh diawasi dan dikritik. Bukan hanya oleh lembaga resmi pemerintahan, seperti parlemen, atau lembaga-lembaga yudisial, melainkan juga oleh kelompok masyarakat, yang dulu sering disebut ‘civil society’. KAMI merupakan bagian dari itu. Dulu pers juga berfungsi sebagai “anjing penjaga” atau “watch dog” dari pemerintahan. Tapi peran pers perjuangan seperti itu nampaknya kian punah.
Hadirnya KAMI menunjukkan masih ada ‘civil society’ di Indonesia. Hal ini patut disyukuri. Sebagai anggota parlemen, saya bahkan melihat kemunculan kelompok oposan di luar parlemen seperti KAMI ini merupakan hawa segar bagi “demokrasi” yang makin sumpek. Selain membantu mengkritisi pemerintah, kehadiran KAMI juga turut membantu parlemen, juga partai politik, dalam hal otokritik.
Catatannya cukup jelas, jika parlemen dan partai politik kita menjalankan fungsinya, peka terhadap aspirasi masyarakat, melaksanakan fungsi “check and balances” terhadap kekuasaan, maka gerakan seperti KAMI ini sebenarnya tak akan muncul. Kemunculan KAMI menunjukkan ada sesuatu yang perlu diperbaiki dalam fungsi parlemen, partai politik, pers dan institusi-institusi pilar demokrasi lainnya.
Itu sebabnya, kita tak perlu jengah terhadap kehadiran KAMI. Dan gerakan masyarakat sipil memang tak sepantasnya direspon dengan penilaian menyudutkan. Kehadiran ‘civil society’ merupakan bagian dari demokrasi, sekali lagi sama seperti halnya kehadiran pers dan partai politik.
Gerakan seperti KAMI selalu muncul di setiap periode pemerintahan. Dulu, pada masa Orde Baru, misalnya, ada kelompok Petisi 50. Sesudah Reformasi, pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah muncul Petisi 28. Tuntutan kelompok ini bahkan lebih keras ketimbang delapan tuntutan yang disampaikan KAMI, yaitu memobilisasi gerakan cabut mandat dengan target menurunkan presiden. Toh kita tahu pemerintah dan semua lembaga negara pada waktu itu tak ada yang merespon dengan pandangan menyudutkan atau intimidasi dan kriminalisasi.
Adanya gerakan moral seperti ini menunjukkan masyarakat sipil kita masih berfungsi sebagai elemen demokrasi. Ini hal yang positif.
Saya baca, delapan tuntutan yang disampaikan KAMI kemarin semuanya tak ada yang menyimpang dari koridor hukum dan demokrasi. Mereka, misalnya, meminta agar para penyelenggara negara, khususnya pemerintah, DPR, DPD, dan MPR agar tidak menyimpang dari jiwa Pembukaan UUD 1945, yang di dalamnya terdapat Pancasila. Tidak ada yang keliru dengan tuntutan tersebut. Sebagai anggota DPR, saya justru berterima kasih karena ada yang mengingatkan untuk apa dan siapa sebenarnya kita harus bersuara di parlemen.
Penilaian bahwa gerakan KAMI ini diisi oleh orang-orang yang kalah, atau pernah kalah, adalah ungkapan sinikal yang tak paham makna demokrasi. Sebab, dalam kacamata demokrasi, tak dikenal konsep “yang menang” dan “yang kalah”. Demokrasi hanya mengenal konsep “penguasa” dan “oposisi”, yang menunjukkan pentingnya mekanisme ‘check and balances’ dalam soal pemerintahan.
Jadi, tokoh-tokoh yang mendeklarasikan KAMI kemarin bukanlah “orang-orang kalah”. Sebagian merupakan ‘senior citizens’ yang punya reputasi terpuji. Mereka adalah orang-orang yang mewakafkan diri untuk meluruskan jalan yang bengkok. Dalam bingkai demokrasi, posisi mereka sangat terhormat.
Di sisi lain, munculnya gerakan-gerakan seperti ini menunjukkan sedang ada masalah serius menggelisahkan masyarakat. Inilah poin paling penting yang seharusnya kita perhatikan.
Masyarakat menilai, sesudah dua puluh tahun Reformasi, hampir semua tuntutan saat Reformasi kini sedang dijegal. Dulu kita menentang korupsi, misalnya, namun kini lembaga anti-korupsi justru dilemahkan. Dulu menentang nepotisme, kini nepotisme dianggap biasa. Semua itu telah mencederai rasa keadilan masyarakat.
Pada saat bersamaan, kanal-kanal politik yang seharusnya dapat menyalurkan kegelisahan publik dianggap macet. Semakin sedikit juru bicara rakyat.
Begitu juga halnya dengan saluran-saluran ekstra parlementer. Perguruan tinggi dan intelektual kampus, misalnya, yang mestinya bisa menjaga jarak terhadap kekuasaan, sehingga bisa jernih menangkap kegelisahan publik, kini justru seperti terkooptasi oleh kekuasaan. Hal serupa juga terjadi pada gerakan mahasiswa. Di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, gerakan mahasiswa bisa dikatakan mengalami mati suri.
Sehingga, munculnya KAMI, yang diusung oleh sejumlah tokoh dari berbagai latar belakang, adalah bentuk kanalisasi kegelisahan publik. Kemunculan KAMI adalah hal biasa dalam demokrasi. Bahkan, bagi saya, kehadiran mereka merupakan vitamin bagi demokrasi.
Jika gerakan semacam KAMI ini tidak muncul, maka demokrasi kita sebenarnya sedang berada dalam ancaman.
Dr. Fadli Zon, M.Sc.
Anggota DPR RI; Chairman IPS (Institute for Policy Studies), Jakarta