EDITORIAL

Koalisi atau Oposisi?

Tak Mengenal Oposisi

Konstitusi dan sistem politik di Indonesia sejatinya tidak mengenal istilah ‘oposisi’. Indonesia berbeda dengan Amerika yang menggunakan sistem dwi partai. Jika satu partai menang otomatis partai yang satunya menjadi oposan. The winner takes all. Indonesia juga berbeda dengan sistem politik di Malaysia yang mengenal koalisi tetap.

Di Indonesia, oposisi sejati tidak benar-benar terjadi. Faktanya, walaupun pada level pusat partai-partai terbagi pada kubu koalisi pendukung pemerintah dan kubu oposisi, namun itu tidak berlaku untuk daerah. Di Pusat ‘bermusuhan’, tetapi di daerah bisa berkoalisi dalam Pilkada. Baik untuk mengusung Cagub-Cawagub maupun Cabup-Cawabup/Calon Walkot-Cawawali. Demikian pula dalam penggabungan fraksi di DPRD bagi partai-partai yang tidak memenuhi syarat membentuk fraksi sendiri. Dalam politik Indonesia bisa dikata tidak ada kawan dan lawan yang abadi.

Yang sesungguhnya terjadi di Indonesia adalah adanya partai-partai yang mengambil fungsi sebagai kelompok penyeimbang pemerintah. Dan itu dilakukan oleh partai di luar penguasa, beserta kelompok masyarakat. Bagi anggota Dewan, fungsi ini disebut sebagai fungsi pengawasan. Mengontrol pelaksanaan UU, APBN dan kebijakan-kebijakan pemerintah.

Islam juga tidak mengenal oposisi. Menurut Alquran, tugas individu sebagai anggota masyarakat dan jamaah/partai politik sebagai kelompok adalah menyeru kepada Islam, mengajak kepada kema’rufan dan mencegah kemunkaran (amar ma’ruf nahi munkar). Allah Swt berfirman: “Hendaknya ada di antara kalian sekelompok umat yang menyeru pada kebaikan, serta mengajak pada kema’rufan dan mencegah dari kemunkaran.” (QS. Ali Imran: 104).

Artinya, baik terlibat dalam pemerintahan maupun berada di luar pemerintahan, tugas partai politik harusnya sama. Yakni menjalankan fungsinya sebagai kelompok untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar dan koreksi terhadap penguasa (muhasabah lil hukkam). Aktifitas ini merupakan perkara yang sudah diketahui secara umum dalam Islam.

Nabi Saw bersabda,”Agama itu adalah nasihat.” Para sahabat bertanya, “Untuk siapa ya Rasul?”, Beliau menjawab, “Untuk Allah, kitab suci-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin pada umunya.” (HR Muslim, Abu Dawu dan Ahmad). Bahkan Nabi Saw menyebut aktifitas mengoreksi penguasa sebagai jihad utama (afdholul jihad). “Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang benar kepad pemimpin yang zalim.” (HR Ahmad, Ibn Majah, Abu Dawud, An-Nasa’i, Al-Hakim).

Kelirunya adalah anggapan jika parpol menjadi bagian koalisi pemerintah harus selalu mendukung kebijakan pemerintah baik kebijakan itu benar atau salah, sementara partai oposisi selalu menganggap kebijakan pemerintah salah.

Dalam konteks politik Indonesia, berpihak pada koalisi pemerintah atau ‘koalisi oposisi’ tergantung kepada platform dan genetik partai. Partai Golkar misalnya, tidak memiliki sejarah oposisi. Pragmatis. Sepanjang hidupnya, genetik politik Golkar bersama pemerintah. Hasilnya, suara partai Golkar terus menurun.

Jika berpikir strategis dan jangka panjang, partai-partai seperti Gerindra, PKS, dan PAN sebaiknya mengambil sikap sebagai penyeimbang. Idealisme memang mahal dan harus ‘berdarah-darah’. Tetapi jika partai terbukti konsisten dan tidak mengambil jalan pragmatis, mereka akan dicatat oleh masyarakat. Pada waktunya masyarakat akan memberikan kepercayaan kepada partai itu untuk memimpin mereka.

Belajarlah dari tragisnya partai-partai yang terus membebek pemerintah. Terlepas dari faktor internal, perolehan suara mereka anjlok. PPP perolehan suaranya hanya sedikit di atas ambang batas parlemen, Hanura harus gigit jari. Hengkang dari Senayan. Wallahu a’lam.

SHODIQ RAMADHAN

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button