Komisi Fatwa MUI: Mengoplos Beras Dosa Besar, Pengasilannya Haram

Jakarta (SI Online) – Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) angkat bicara mengenai peredaran beras oplosan, yakni beras biasa yang dikemas dengan stampel beras premium.
Sekretaris Komisi Fatwa MUI, KH Miftahul Huda, menyatakan mengoplos beras adalah perilaku tidak jujur dan culas. Kiai Miftah menjelaskan, salah satu pekerjaan yang paling lama digeluti oleh umat manusia adalah perdagangan.
“Karena berdagang tidak hanya persoalan potensi mendapatkan keuntungan finansial, tetapi dengan berdagang seseorang akan mendapatkan peluang pengembangan diri yang menarik bagi banyak orang,” kata Kiai Miftah dikutip dari MUIDigital, Selasa (22/7/2025).
Maka tidak heran sektor perdagangan sangat berkembang pesat dibandingkan jenis pekerjaan lainnya. Oleh karena itu, ungkapnya, banyak sekali dalil-dalil agama yang mengatur etika perdagangan.
Kiai Miftah menerangkan, salah satu etika penting dalam berdagang adalah kejujuran. Menurutnya, kejujuran dalam berdagang bukan hanya menjaga keberkahan rezeki, melainkan juga membangun kepercayaan jangka panjang antara pedagang dan pelanggan.
“Sebaliknya pedagang tidak jujur tidak akan mendapatkan keberkahan di dunia dan merugi di Hari Akhir. Pada pemberitaan akhir-akhir ini, banyak ditemukan pedagang beras yang tidak jujur,” sambungnya.
Kiai Miftah menekankan, perbuatan pedagang yang mengoplos beras premium dengan beras kualitas rendah, lalu mengemasnya dalam kemasan premium, merupakan tindakan penipuan (taghrir).
Kiai Miftah menyebut tindakan tersebut merugikan banyak orang dan mencerminkan buruknya moralitas pelaku. Ia menyatakan bahwa pedagang yang melakukan penipuan mendapatkan ancaman keras dari Nabi Muhammad Saw, seperti dalam sebuah hadits yang artinya “Barang siapa menipu, maka dia bukan bagian dari golonganku.” (HR Muslim).
“Maka dapat disimpulkan bahwa hukum menipu dalam perdagangan adalah kategori dosa besar dan harta yang dihasilkan merupakan harta haram,” tegasnya.
Kiai Miftah mengingatkan, etika yang sangat penting dalam berdagang adalah larangan untuk melakukan eksploitasi terhadap pihak yang lemah atau seseorang yang sedang mengalami kesulitan untuk mendapatkan keuntungan besar (istighlal).
“Seperti memberi pinjaman dengan syarat bunga tinggi kepada orang yang sangat membutuhkan. Atau dalam konteks kekinian adalah membeli gabah dari petani dengan harga murah saat musim panen,” jelasnya.
Menurutnya, karena petani sangat membutuhkan uang untuk keperluan sehari-hati dan pengolahan kembali, sehingga tidak ada pilihan yang baik bagi petani kecuali menjual kepada tengkulak dengan harga murah.