Komputer Canggih Bermerek Kapehuhh
Akhirnya, telah lahir komputer canggih nan ngeri-ngeri sedap bermerek Kapehuhh di negeri loh jinawi. Ini bukan sembarang komputer, pun bukan komputer sembarangan. Komputer ini bukan sembarang komputer karena hanya dioperasionalkan oleh sebuah instansi yang dapat menentukan hitam atau putih wajah negeri tersebut. Ini bukan komputer sembarangan karena ia memiliki kepiawaian megejawantahkan secara fasih petuah Niccolo Machiavelli yang disinergikan dengan post truth, serta metode penilaian ‘tujuh dari sepuluh wanita menggunakan shampoo merek y’.
Karakter pertama Kapehuhh dengan prosesor berjuluk niretika ini adalah intel inside. Jadi, jelas picik dan dangkal penuturan seorang tokoh bahwa genderuwo zaman now hanya ada (dan banyak) bergentayangan kalau proses rekapitulasi penghitungan suara terhadap kandidat pimpinan dilakukan di hotel tertentu. Nyatanya, ada atau tidaknya dukungan makhluk astral tersebut, prinsip intel inside harus dilaksanakan secara modern, profesional, dan terpercaya—bukan terperdaya. Bahkan, acapkali prinsip intel outside pun bisa dimanifestasikan dengan berencana, sistematis, dan masif.
Karakter kedua, ia merupakan gawai mutakhir yang mengejawantahkan fuzzy logic secara mangkus. Secara sederhana, logika fuzzy berbicara mengenai ‘derajat kebenaran’. Dus, dalam Kapehuhh, Fuzzy logic mengawinkan hasrat berkuasa nan Megalomania dengan strategi ‘perang tutul’ beralaskan teknologi canggih. Salah satu kejadian konkretnya adalah ada 255 orang di suatu lokasi yang mengikuti suatu prosesi pemilihan Kepala Dusun yang diikuti oleh dua kandidat Kadus (bukan kardus), ternyata suara sah hanya 185. Komputer Kapehuhh yang berbasiskan Fuzzy logic zaman now bisa menampilkan data sebagai berikut: kandidat A memperoleh 1833 suara, B mendapatkan 2 suara. Lebih dahsyatnya lagi, perbedaan jumlah ini berulang kali terjadi bak cendawan di musim hujan di seantero negeri tersebut.
Karakter berikut, ia merupakan wahana eksistensi dan representasi Post Truth–kondisi di mana fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal. Dengan demikian, Kapehuhh akan menyajikan kesimpulan yang Artificial Truth (Kebenaran Artifisial); yang hasil kesimpulan ini bisa diajak ‘seiring-sejalan’ dengan metode penilaian pengguna shampoo. Jika pun ada sebagian warga yang mempertanyakan hasil penghitungan gawai ini yang bertentangan dengan nalar sehat, sang programmer dan operator telah mempersiapkan jawaban. Bahwa algoritma yang digunakan Kapehuhh melampaui era 4.0, sehingga tidak bisa dipahami kecuali oleh orang-orang nan berspirit kenabian serta lulus sertifikasi Il Principe.
Mendengar kabar ini, patik bagai disengat kawanan kalajengking nan amat brutal. Apakah Kapehuhh tidak mampu mendeteksi dan mengantisipasi kesalahan perhitungan mendasar, yang bahkan anak kelas dua SD atau kalkulator sederhana pun bisa melakukannya? Apa iya komputer dengan segenap keganjilan yang kasat mata ini adalah benar-benar benar hebat? Atau justru ia disebut canggih justru karena ia telah diprogram untuk bisa mentolerir kesalahan perhitungan yang mengguncang kewarasan banyak orang? Bagaimana kalau kabar tentang kedahsyatan Kapehuhh ini adalah hoax yang sengaja diulang-ulang agar kemudian (dianggap) menjadi kebenaran? Ataukah sebagaimana perkataan seorang pemikir, pembuat hoax terbaik adalah penguasa di negeri loh jinawi, tentunya?.
Syukurlah, kita tidak tinggal di negara hebat tersebut. Kita hidup dimana pimpinan dan kandidat pimpinan tidak membodohi warganya melalui janji manis kecap pemilu–yang terasa pahit di kemudian hari. Dimana pimpinan tidak haus kekuasaan dan tidak pula mengejawantahkan hegemoni kebenaran. Dimana pimpinan lembaga bersikap amat rendah hati dengan berdalil (bukan berdalih) klasik adanya human error dan menerima kritikan yang disajikan lembaga pengawas terkait ketidakakuratan hasil perhitungan, namun kesalahan hitung ini tetap istiqomah terjadi, lagi dan lagi.
Seyogianya kita bersyukur tidak memiliki pimpinan yang memanipulasi rakyat dengan bersandarkan pada prinsip l’etat, c’est moi (negara adalah saya). Kita hidup dimana warga yang ikut pemilu dengan sukarela, tidak beralih menjadi sukarrela saat menerima hasil pemilu. Dimana pencoblosan tatkala pemilu tidak bersalin rupa menjadi pengoplosan senoktah kebenaran dengan segerobak kebohongan. Dimana pemilu menjadi pengalaman yang mengesankan, bukan mengesalkan, apatah lagi mengenaskan. Last but not the least, kita menapaki hidup dimana hukum dan aparat adalah instrumen menegakkan kebenaran, dan bukan menjadi pembenaran bagi rezim manapun dalam melazimkan kezalimannya….
Abdur Rahman
Pengamat sosial dan budaya