Komunisme Bisa Bangkit Melalui RUU HIP?
Keempat, pemerintah melalui RUU HIP ini berusaha untuk memaksakan pemahaman Pancasila kepada warganya. Sedangkan lembaga yang ditugaskan untuk merumuskannya adalah BPIP. Hal ini terlihat dalam Pasal 4, 42, 43 dan 44.
Bahkan pemerintah berusaha untuk mengontrol alam pikiran dan pemahaman masyarakat tentang Pancasila. Lantas, Pancasila yang seperti apa? Tentunya pemerintah melalui BPIP yang punya hak paten Pancasila. Ini mirip gaya demokrasi terpimpin ala Sukarno. Di dalam demokrasi terpimpin itulah Komunisme bisa tumbuh subur. Saat itu pemaknaan Pancasila dengan Nasakom menjadi haluan negara.
Kelima, di Pasal 6 ayat 1 berbunyi:” Ciri pokok pancasila itu trisila yakni: ketuhanan, nasionalisme dan gotong royong”. Di ayat 2 berbunyi: “Trisila dalam ayat 1 terkristalisasi dalam ekasila yakni gotong royong”.
Tentunya ini bisa mengarah kepada kebijakan politik Nasakom (Nasionalis, Agamis dan Komunis). Ketiga kekuatan politik berusaha dirangkul Sukarno demi untuk menopang kekuasaannya. Akan tetapi justru kekuasaannya cepat tumbang karena adanya pembusukan politik. PKI justru melakukan upaya permusuhan terhadap Islam. Mereka berhasil melarang Masyumi menggunakan tangan Sukarno.
Pencabutan BHP Ormas HTI menjadi pembusukan politik tersendiri bagi negara. Karena justru yang timbul di tengah umat Islam adalah pandangan bahwa pemerintahan yang ada itu anti Islam. Bukankah ini bunuh diri politik bagi mereka sendiri? Jadi ketika pemerintahan suatu negeri terpisah dari rakyatnya, bahkan bila cenderung represif, hanya memperpendek usia kekuasaan. Lebih – lebih kekuasaan itu terpisah dari umat Islam.
Beberapa poin tersebut bisa muncul dalam beberapa pasal RUU HIP berawal dari konsiderannya. Penghilangan TAP MPRS No 25 Tahun 1966 dalam konsideran, telah meniscayakannya penyusupan konsepsi Komunisme yang mengatasnamakan Pancasila.
Kesalahan Paradigmatik
Bangkitnya Komunisme memang tidak bisa dipisahkan dari masa orde lama. Hingga pada tataran Komunisme melalui PKI melakukan kudeta di tahun 1948 dan 1965.
Konsepsi ekonomi Marhaenisme yang digagas Sukarno tidak bisa dilepaskan dari doktrin Sosialisme Marxisme. Memang Sukarno tidak mengambil akidah dialektika materi atau atheisme dalam Marxisme. Pertimbangannya, tidak sesuai dengan bangsa Indonesia yang relijius. Yang diadopsinya adalah konsep Materialisme historis dalam perjuangannya dalam mewujudkan keadilan sosial, tanpa penindasan kaum kapitalis kepada kaum lemah seperti Marhaen. Semua warga adalah marhaen – marhaen tanpa melihat lagi agamanya. Semuanya berjuang untuk mewujudkan keadilan sosial.
Hanya saja yang luput dari Sukarno adalah Komunisme itu ideologi. Mengambilnya harus satu paket dengan konsepsi akidah dan sistemnya. Walhasil, Presiden Sukarno mau tidak mau harus menerima kenyataan adanya kekuatan politik Komunisme sebagai ideologi dan gerakan. Kebijakan nasakom diambilnya. Dan ini menjadi noktah hitam sejarah pemerintahannya.
Sudah sekitar 75 tahun Indonesia merdeka. Kehidupan berbangsa dan bernegara belum menunjukkan perbaikan di segala bidang. Kemisknan, keterbelakangan dan penjajahan masih mendera. Berbagai formulasi dari ideologi dunia, Komunisme dan Kapitalisme diakui atau tidak telah diterapkan di negeri ini. Nasib negeri ini tidak berubah. Bahkan kecongkakan pemerintahan terhadap Islam dan umatnya, menyebabkan Allah mengirim wabah Corona di negeri ini.
Pertanyaannya, tidakkah saatnya bangsa dan negeri ini mengambil formulasi Ideologi Islam untuk bisa keluar dari krisis dan penjajahan? Ataukah bangsa ini mau jatuh ke dalam lubang yang sama untuk kedua kalinya?
Ainul Mizan
Pemerhati Sosial Politik, tinggal di Malang