Korupsi, Budaya dalam Demokrasi
Kabiro Humas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah mengungkapkan alasan KPK menyegel ruang kerja milik Menteri Agama Lukman Hakim Saefudin dan ruangan Sekertaris Jenderal Kementrian Agama (Kemenag) Nur Kholis. Diketahui, sejumlah ruangan di kantor Kemenag pusat langsung disegel setelah tangkap tangan yang melibatkan Ketua Umum PPP M Romahurmuziy di Jawa Timur, Jumat (15/3) kemarin. (Republika.co.id, 16/3)
Sabtunya, KPK mengumumkan penetapan tersangka terhadap anggota DPR itu. Romahurmuziy menjadi Ketua Umum Partai kelima yang dijerat KPK. Dalam kasus ini, Romy diduga sudah menerima uang dengan total Rp300 juta dari dua pejabat Kementerian Agama di Jawa Timur. (wartakota.tribunnews.com, 17/3)
Lagi-lagi berita-berita nasional mengungkap bahwa anggota partai pengusung demokrasi kerap kali terkena jeratan kasus korupsi. Hal ini menunjukkan bahwa hakekat demokrasi sebagai biang korupsi. Mereka yang selalu menjunjung tinggi menyuarakan nilai-nilai demokrasi nyatanya yang selalu terjerat kasus korupsi. Meski banyak sekali jeratan kasus yang terjadi tetap saja kursi kekuasaan milik mereka seakan-akan dosa besar korupsi diabaikan begitu saja. Prinsip demokrasi yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat sama sekali tidak terpancar dalam prakteknya. Yang tampak dalam realita adalah demokrasi dari penguasaha (penguasa dan pengusaha), oleh penguasaha dan untuk penguasaha.
Kondisi seperti ini seharusnya membuka mata umat betapa busuknya demokrasi. Umat harus sadar tentang kebobrokan demokrasi dan berkeinginan kuat untuk mulai mencampakkannya. Karena selama demokrasi tetap diterapkan, selama itu lah kasus korupsi dan kasus-kasus yang sejenis akan terus terjadi. Upaya-upaya yang dilakukan oleh Pemerintah untuk memberantas korupsi ternyata juga tidak mampu memberikan efek jera bagi para koruptor. Bahkan di berbagai Lapas menyediakan fasilitas mewah bagi narapidana koruptor. Ditahan dalam jeruji besi dan membayar denda ternyata juga tidak dapat mengurangi angka kasus korupsi di Indonesia. Berbagai cara dilakukan oleh Pemerintah namun tak mampu menghilangkan budaya korupsi yang sudah merajalela dikalangan para pejabat. Inilah yang terjadi manakala sistem pemerintahan mengadopsi dari sistem demokrasi yang berasaskan pada manfaat. Selagi ada manfaat yang dapat dicapai, mereka akan menghalalkan segala cara untuk dapat meraihnya. Dalam sistem ini juga, segala aturan kehidupan manusia berhak diaturnya sendiri. Alhasil, efek jera dan musnahnya dari kasus korupsi di Indonesia tak kunjung diraih. Ke depan, kasus korupsi akan terus tumbuh subur.
Berbeda dalam Islam, kasus korupsi seperti ini adalah menjadi perhatian tersendiri. Aturan Islam yang sempurna telah mengatur sedemikian rupa agar kasus korupsi dapat diatasi secara tuntas hingga ke akar-akarnya. Korupsi dalam Islam disebut dengan perbuatan khianat, orangnya disebut khaain, termasuk di dalamnya adalah penggelapan uang yang diamanatkan atau dipercayakan kepada seseorang. Tindakan khaa
in ini tidak termasuk definisi mencuri (sariqah) dalam Islam, sebab definisi mencuri (sariqah) adalah mengambil harta orang lain secara diam-diam. Sedang khianat ini bukan tindakan seseorang mengambil harta orang lain, tapi tindakan pengkhianatan yang dilakukan seseorang, yaitu menggelapkan harta yang memang diamanatkan kepada seseorang itu. (Lihat Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 31). Karena itu, sanksi untuk khaa`in (pelaku khianat) bukanlah hukum potong tangan bagi pencuri sebagaimana diamanatkan dalam Al Qur’an, melainkan sanksi ta’zir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim.
Sanksinya disebut ta’zir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuk sanksinya bisa mulai dari yang paling ringan, seperti sekedar nasehat atau teguran dari hakim, bisa berupa penjara, pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhir), hukuman cambuk, hingga sanksi yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Teknisnya bisa digantung atau dipancung. Berat ringannya hukuman ta’zir ini disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 78-89).
Islam tidak hanya mampu menindak kasus korupsi, melainkan mampu mencegah terjadinya korupsi itu sendiri. Paling tidak ada tujuh langkah untuk mencegah korupsi menurut Islam, yaitu: Pertama, rekrutmen SDM aparat negara wajib memenuhi kriteria kifayah (kapabilitas) dan berkepribadian Islam (syakhshiyah Islamiyah). Kedua, negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya. Ketiga, negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya. Keempat, Islam melarang menerima suap dan hadiah bagi para aparat negara. Kelima, Islam memerintahkan melakukan perhitungan kekayaan bagi aparat negara. Keenam, adanya teladan dari pimpinan. Maka Islam menetapkan kalau seseorang memberi teladan yang bagus, dia juga akan mendapatkan pahala dari orang yang meneladaninya. Ketujuh, pengawasan penuh oleh negara dan masyarakat.
Dengan adanya penerapan dari aturan ini, maka kasus korupsi akan dapat teratasi dengan tuntas. Akan tetapi, aturan Islam tidak mampu diterapkan parsial atau sebagian-sebagian melainkan secara menyeluruh agar Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin dapat terwujud di negeri ini. Wallahu a’lam.
Arinal Haq
(Aktivis Mahasiswa Sidoarjo)