Korupsi Menggurita, RUU Perampasan Aset Solusinya?
Korupsi makin menggurita di negeri ini. Benarlah apa yang dikatakan oleh Menko Polhukam, Mahfud MD. Menoleh ke mana saja ada korupsi. Menoleh ke hutan, ada korupsi. Menoleh ke pesawat udara, ada korupsi. Menoleh ke asuransi, ada korupsi. Menoleh ke koperasi ada korupsi. Sungguh ngeri negeri ini, semuanya berujung korupsi.
Ya, korupsi seolah menjadi budaya yang langgeng di negeri ini. Sederet kasus korupsi ibarat mati satu tumbuh seribu. Terbaru, dugaan kasus korupsi yang menyeret Bupati Kepulauan Meranti, Muhammad Adil, yang terjaring OTT pada Kamis, 6 April 2023. Dalam OTT tersebut, KPK mengamankan uang sebanyak Rp1,7 miliar. KPK pun mengungkapkan bahwa uang yang didapat Adil dari korupsi akan digunakan untuk keperluan maju Pemilihan Gubernur Riau (Pilgubri) pada 2024. (detik.com, 8/4/2023).
Tidak hanya kasus korupsi tuan pejabat yang menjadi sorotan. Kasus penganiayaan yang dilakukan oleh Mario Dandy, anak dari pejabat pajak, Rafael Alun Trisambodo, berbuntut terungkapnya sederet skandal keuangan di Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Publik pun dikejutkan dengan adanya temuan transaksi mencurigakan di Kemenkeu senilai Rp349 T yang diduga bersinggungan dengan tindak pidana pencucian uang. (cnbcindonesia.com, 1/4/2023).
Mengguritanya kasus korupsi yang berkelindan dengan tindak pidana pencucian uang tak ayal lagi mengundang desakan publik agar DPR RI segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset. Ya, RUU Perampasan Aset kembali mengemuka dalam rapat antara Menko Polhukam dan anggota DPR pekan lalu.
Dalam rapat tersebut, Menko Polhukam, Mahfud MD, meminta dukungan anggota DPR terkait RUU Perampasan Aset. Sayangnya, para anggota dewan menolak permintaan Menko Polhukam itu dengan dalih drafnya belum ada. Para elite Senayan itu pun disebut-sebut khawatir jika undang-undang tersebut kelak disahkan.
RUU Perampasan Aset seolah menjadi harapan bagi penuntasan kasus korupsi dan TPPU di Indonesia. Namun, benarkah demikian?
Keberadaan Undang-Undang Perampasan Aset memang memungkinkan berdirinya sebuah lembaga yang berwenang menyita aset hasil kejahatan elite pejabat dan politikus tanpa proses pengadilan. Undang-undang ini pun disebut bertujuan untuk menyokong pemberantasan korupsi, yaitu memiskinkan para koruptor yang bergelimang harta dari hasil merampok kekayaan negara. Namun, jika ditelaah, undang-undang ini justru berpotensi membuka peluang konflik kepentingan.
Tidak sedikit pihak yang waswas, bahwa undang-undang ini akan melegitimasi tindakan negara yang sewenang-wenang merampas aset seseorang tanpa pengadilan. Undang-undang ini juga disebut rentan disalahgunakan oleh rezim oligarki kapital untuk menggebuk lawan bisnis dan politiknya sekaligus menyita asetnya. Alhasil, undang-undang ini ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, menyokong pemberantasan korupsi, sedangkan di sisi lainnya berpotensi menjadi alat oligarki kapital untuk makin berkuasa dan sewenang-wenang.
Harapan menuntaskan korupsi dalam ranah demokrasi tampaknya hanyalah utopia belaka. Sistem ini justru menumbuhsuburkan korupsi, tindak pidana pencucian uang, dan gaya hidup pamer barang mewah yang tengah melanda pejabat negeri ini. Sebab, biaya demokrasi yang tinggi nyata membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan demi mengembalikan modal politik.
Aturan yang lahir dari rahim demokrasi pun gagal menghentikan gurita korupsi. Konflik kepentingan dan penyalahgunaan kekuasaan kerap menjadi batu sandungan dalam penegakkan hukum bagi para koruptor. Bahkan menjadi rahasia publik, bagaimana para koruptor sering kali divonis murah bahkan divonis bebas. Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan jumlah terdakwa korupsi yang divonis bebas dan lepas cenderung meningkat dalam lima tahun terakhir (2017-2021). Data terakhir pada Mei 2022 melaporkan ada 107 terdakwa korupsi yang divonis bebas dan lepas sepanjang tahun 2021. Jumlah ini naik 41 orang dibandingkan tahun sebelumnya. (katadata.co.id, 23/5/2022).
Melonjaknya terdakwa korupsi yang divonis bebas dan lepas menjadi bukti bahwa aturan yang lahir dari rahim demokrasi gagal membuat jera para koruptor. Hukum yang ada justru membuat ceruk bagi penyelewengan hukum dan kekuasaan. Alhasil, alih-alih korupsi tertuntaskan, yang ada justru makin menggurita.