RESONANSI

Kotak Kosong itu Kutukan bagi Oligarki

Terlebih, di Partai Golkar termasuk anggota KIM itu sendiri, terdengar kabar yang an sich ngeri-ngeri sedap untuk menyelenggarakan Munaslub yang serba dadakan itu bakal digelontorkan dana sampai 2 T? Indikasinya dikarenakan tak ada satu pun DPD yang memprotes, tapi menerima secara aklamasi di seluruh Indonesia.

Termasuk, itu sebagai ongkos sampai Jokowi, Gibran, Kaesang salah satunya masuk menjadi Ketua Umum dan atau Ketua Dewan Pembina.

Itulah kenapa keputusan aklamasi di depan panggung sering kali disalahgunakan. Padahal, di belakang panggung aklamasi itu berarti deal transaction sawer-menyawer dibagi-bagi amplop-amplop angpau.

Golkar partai melegenda, ternyata gampang dibeli juga dengan harga obral besar-besaran sama percis dengan di IKN.

Pertanyaannya, lantas kenapa berupa amplop angpau? Patut diduga dikarenakan Jakarta itu sudah di-setting akan dijadikan program pusat aglomerasi yang akan menjangkau Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi.

Siapa lagi kalau bukan dari oligarki pengembang PIK II sebagai pencetak kota baru yang kontradiktif dibangun: “negara dalam negara” lebih luas dari negara Singapura apalagi Jakarta?

Pun BSD yang telah dilindungi oleh negara dengan penyematan status Proyek Strategis Nasional bagi keduanya. Tentu ada ongkos untuk tiket masuknya dong?

Itulah kebobrokan moral kekuasaan di kolong langit Jakarta. Hingga, Anies Baswedan yang sangat dielu-elukan dan sangat diharapkan oleh warganya sebagai Gubernur —dikarenakan jejak digitalnya masih ada tentang prinsip moral memegang teguh kesetaraan, kesejahteraan dan keadilan bagi warganya—saat itu di awal Anies menjabat 2017 sudah menentang proyek reklamasi PIK I di pantai utara dan pulau Seribu, bukan?

Sebenarnya menjegal dan menyingkirkan Anies di Jakarta. Itu sama halnya menentang rakyat warga seluruh Indonesia.

Tidak saja terhadap suku asli Betawi —karena Jakarta itu miniatur Indonesia— publik perantauan dan yang tengah mengadu nasib mempertaruhkan hidupnya dari mana pun di seluruh Indonesia itu akan merasakan kepiluannya, perlakuan intimidatifnya dan tindak penjegalannya —membuat publik warga indonesia itu geram dan kesal rasanya ingin berontak melakukan perlawanan.

Dan melalui jalan damai, mudah dan sederhana bagi rakyat di Jakarta —-jika KPU dan Bawaslu tak main pat gulipat lagi—-melakukan empati, simpati dan partisipasinya lewat kotak kosong.

Sedangkan, bagi oligarki kotak kosong itu sesungguhnya merupakan kutukan.

Laman sebelumnya 1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button