Krakatau Steel dan Paradoks Politik Industri Rezim Neoliberal
Industri strategis negara lagi-lagi kembali terancam. Setelah Pertamina merugi, Indosat terjual, maskapai domestik terancam bangkrut karena maskapai asing diijinkan bermain di ranah lokal, terakhir Krakatau Steel tidak luput dipastikan.
PT Krakatau Steel (KS) melakukan upaya restrukturisasi terhadap jumlah karyawannya. Demi menjaga kinerja perusahaan agar tetap berjalan, Badan usaha milik negara (BUMN) itu mulai melakukan pengurangan pekerjanya. Penataan organisasi dilakukan dengan cara melakukan pengurangan posisi dan jumlah karyawan yang bekerja sebesar 30 persen dari total posisi dan jumlah karyawan. Dalam surat tertulis, hingga Maret 2019, jumlah posisi di PT KS sebanyak 6.264 posisi dengan jumlah pegawai sebanyak 4.453 orang (https://www.jpnn.com/news/krakatau-steel-phk-ribuan-buruh).
Permasalahannya, Krakatau Steel tak hanya tengah menghadapi persoalan internal, tapi juga sedang menghadapi masuknya raksasa baja asal China yang membuka pabrik di Kendal seluas 700 hektare. Ini tentu bagian dari ancaman Krakatau Steel untuk bangkit. Kalau saja Pemerintah berpihak kepada BUMN, maka Krakatau Steel harus diselamatkan dengan memberi jalur distribusi baja ke proyek-proyek pembangunan infrastruktur yang tersisa. Sebab selama 4,5 tahun terakhir kue bisnis baja untuk pembangunan infrastruktur tidak diperoleh secara optimal oleh Krakatau Steel. Justru perusahaan China yang mendapat privilege lebih memasok baja untuk pembangunan infrastruktur. Apalagi kita tahu Pemerintah lewat Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 22/2018 tentang Ketentuan Impor Besi dan Baja yang dinilai memudahkan negara lain untuk impor dengan tidak adanya bea masuk, sehingga dikhawatirkan dapat mengganggu produksi baja dalam negeri. Jadi masalahnya sekarang ada pada political will pemerintah, apakah akan mempertahankan
Krakatau Steel atau justru mempercepat BUMN besi-baja itu collapse masuk liang kubur (https://www.law-justice.co/artikel/67522/krakatau-steel-tengah-dihantui-kebangkrutan/.
Kondisi seperti ini menandakan lemahnya visi politik rezim neoliberal yang nampak dalam politik industrinya. Hal ini disebabkan karena negara mengambil paradigma sekuler demokrasi kapitalistik. Akibatnya negara yang seharusnya memberi layanan terbaik untuk rakyat malah mengistimewakan asing. Politik industri neoliberal Rezim ini abai dalam membangun industri berat bahkan membiarkan asing yang menguasai, padahal industri berat merupakan prasyarat menjadi negara kuat.
Akan sangat berbeda jika negara mengambil paradigma Islam politik untuk mengatur kebutuhan rakyat. Dalam Islam, politik perindustrian merupakan pilar pembangun negara yang mandiri dan menjadi negara pertama atau adidaya. Negara yang berlandaskan akidah Islam atau Khilafah harus mempunyai kontrol atas barang tambang mereka sendiri beserta industri yang menyuling dan mengolahnya, dengan tujuan untuk menghilangkan ketergantungan pada negara lain. Hal ini akan menjadi target kunci bagi industri sebagai bahan baku yang sangat penting bagi berlangsungnya industri-industri lain.
Khilafah harus menjadi negara industri maju dan harus mempunyai kebijakan perindustrian yang bisa mewujudkan tujuan tersebut. Karena itu, harus dilakukan revolusi industri, di mana kebijakan di bidang perindustrian yang selama ini bertumpu pada industri konsumtif, diubah menjadi industri strategis. Sekaligus menjadikan industri strategis ini sebagai basis perindustrian. Untuk mewujudkannya hanya ada satu cara, yaitu membangun industri peralatan atau membangun industri yang memproduksi alat-alat, yang biasanya dikenal dengan industri alat berat. Dari industri inilah kemudian industri-industri lain bisa dikembangkan. Industri berat kemudian diprioritaskan untuk menopang industri pertahanan dan keamanan (as-shinâ’ah al-harbiyyah).
Industri pertahanan dan keamanan sebagai pondasi seluruh kebijakan negara di bidang industri mengharuskan adanya industri alat berat, bahan baku dan bahan bakar. Karena itu, negara Khilafah juga harus membangun industri bahan baku, seperti baja, besi, seng, kuningan dan alumunium. Selain itu, negara Khilafah harus mandiri di bidang energi sehingga bisa memenuhi kebutuhan industrinya. Negara juga harus mempunyai industri eksplorasi, penambangan, pengelolaan dan penjernihan minyak, gas, batubara, panas bumi dan lain-lain. Termasuk industri nuklir, baik untuk persenjataan maupun energi. Semuanya ini bisa diwujudkan secara mandiri, kalau negara Khilafah memiliki industri alat berat sendiri sehingga tidak membutuhkan dan bergantung kepada negara lain.
Dr. Retno Muninggar, SPi, ME
(Dosen dan Alumnus FEB UI)