OPINI

Krisis Kepemimpinan Memerlukan Kabinet Krisis

Bagaimana bisa memitigasi krisis, jika posisi Pemerintah selalu menyangkal potensi dan ancaman krisis?

Mari kita lihat buktinya.

Pertama, Pemerintah lambat merespon krisis. Saat kasus pertama Covid-19 diakui Pemerintah untuk pertama kalinya pada awal Maret lalu, Presiden menolak menerapkan status darurat nasional. Padahal, sejak 10 Maret 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyurati Presiden agar menetapkan status darurat nasional. Rekomendasi status darurat nasional itu bukan hal yang mengada-ada, sebab WHO sendiri sudah menetapkan status darurat global untuk menghadapi Covid-19.

Ketika Gubernur DKI Jakarta dan sejumlah kepala daerah lain mengutarakan inisiatif melakukan ‘lockdown’ wilayah untuk mencegah terjadinya penularan, pemerintah mementahkan usulan tersebut. Padahal kebijakan “lockdown” dimungkinkan oleh UU No. 6/2018 tentang Karantina Kesehatan. Bukannya mendukung, pemerintah pusat malah mengganjal usulan-usulan tersebut.

Bayangkan, ekspose kasus pertama terjadi awal Maret, namun kebijakan pertama mengatasi pandemi sebagaimana yang dipandu UU Karantina Kesehatan, baru diambil Pemerintah pada pertengahan April 2020, yaitu berupa kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Ada jeda satu setengah bulan.

Jadi, kalau Presiden baru marah-marah soal ‘sense of crises’ di akhir bulan Juni, menurut saya justru Presiden yang tak peka dengan keadaan.

Kedua, organisasi kerja dalam mengatasi krisis ini tidak jelas. Ini adalah bencana nasional kesehatan, namun kita tak melihat di mana Menteri Kesehatan sejak pandemi ini ditetapkan sebagai bencana nasional? Kita juga tidak melihat ada anggota kabinet yang diberi tanggung jawab jelas dalam organisasi kerja penanganan pandemi. Semua menteri memang dimasukkan dalam struktur Dewan Pengarah, namun struktur semacam itu kan hanya pajangan.

Jika Pemerintah menganggap pandemi ini serius, Presiden seharusnya menunjuk salah seorang menterinya sebagai penanggung jawab tim. Apalagi, tim ini harus mengkoordinasikan Gubernur, Pangdam, Kapolda, Korem, Bupati/Walikota, Dandim, Danrem, atau Kapolres, maka butuh seorang dengan jabatan setingkat menteri agar koordinasi bisa jalan. Kasihan sekali Letjen Doni Monardo berjibaku di lapangan, tanpa bekal back-up kekuasaan yang cukup di pundaknya.

Jika Presiden tak mempercayai menteri kesehatannya, misalnya, dia bisa saja menunjuk menteri lainnya. Kalau pandemi ini dianggap dekat dengan isu pertahanan, misalnya, maka Presiden bisa menunjuk Menteri Pertahanan sebagai penanggung jawab. Atau, jika kunci penanganan pandemi ini dianggap ada di pemerintahan daerah, maka Presiden bisa menunjuk Menteri Dalam Negeri.

Ketiga, Pemerintah gagal menetapkan prioritas. Bencana ini adalah bencana kesehatan, namun portofolio kebijakan Pemerintah dalam tiga bulan terakhir didominasi oleh kebijakan bisnis. Coba baca lagi Perppu No. 1/2020. Jika kita pelajari, isinya bukanlah tentang penanganan Covid-19, sebab yang diberi kewenangan ‘extraordinary’ di tengah pandemi ini bukanlah Menteri Kesehatan, bukan Kepala BNPB, atau Ketua Gugus Tugas, melainkan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia.

Dan keempat, sejak awal disusun, pemerintahan ini memang tak menyiapkan diri untuk menghadapi krisis. Di dalam kabinet ini tidak ada teknokrat di pos-pos yang akan berhadapan secara langsung dengan krisis. Semua posisi itu diberikan ke politisi. Bahkan, BUMN yang seharusnya steril dari orang partai politik, di pemerintahan ini justru diisi oleh orang-orang partai politik.

Padahal, sejak dua tahun lalu beberapa ekonom, seperti Nouriel Roubini, misalnya, telah memperingatkan tahun 2020 dunia akan menghadapi krisis finansial. Jadi, sebelum ada Covid-19 sekalipun, krisis sudah diramalkan akan terjadi. Apalagi dengan kini adanya pandemi Covid-19.

Dengan catatan-catatan itu, saya kira yang kita butuhkan untuk menghadapi dampak krisis ke depan bukan hanya ganti satu atau dua menteri sebagaimana yang mungkin saat ini sedang dibayangkan oleh Presiden, tapi harus mengganti struktur kabinet secara besar-besaran. Jika serius dengan kemarahannya, Presiden harus menjadikan kabinetnya sebagai “Kabinet Krisis”.

Krisis ini adalah panggilan bagi para pemimpin. Kita berharap Presiden Joko Widodo bisa menunjukkan kepemimpinannya.

Dr. Fadli Zon, M.Sc.
Anggota DPR RI Dapil Jawa Barat V, Alumnus LSE (London School of Economics) Inggris bidang Studi Pembangunan

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button