NASIONAL

Kritisi Majelis Masyayikh Ala Menag, HNW: Belum Representasi Tiga Jenis Pesantren yang Diakui UU

“Saya melihat dari anggota Majelis Masyayikh yang terpilih, tidak ada yang berasal dari pesantren dengan pola pendidikan Mualimin. Padahal itu diakui oleh UU Pesantren, dan faktanya banyak juga Pesantren dengan pola Muallimin itu,” tambahnya.

Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menambahkan bahwa peraturan perundang-undangan memang tidak secara spesifik mengatur harus adanya keterwakilan tersebut, tetapi di negara Pancasila yang mempraktekkan demokrasi, dan Agama Islam yang perintahkan pemenuhan keadilan, tentu saja asas perwakilan dan musyawarah yang ada dalam sila keempat Pancasila harus dirujuk.

Dan hal itu perlu dikedepankan sebagai konsekuensi logis dan kelaziman aturan hukum dari adanya klasifikasi tiga jenis pendidikan Islam yaitu pesantren yang diakui oleh UU dan juga oleh Negara (Kementerian Agama). Apalagi, Majelis Masyaikh diberi kewenangan oleh UU dan peraturan pelaksananya untuk melaksanakan tugas yang sangat mendasar dan penting terkait dengan Pesantren.

Pasal 29 UU Pesantren menyebutkan Majelis Masyayikh memiliki tugas, sebagai berikut: a) menetapkan kerangka dasar dan struktur kurikulum Pesantren; b) memberi pendapat kepada Dewan Masyayikh dalam menentukan kurikulum Pesantren; c) merumuskan kriteria mutu lembaga dan lulusan Pesantren; d) merumuskan kompetensi dan profesionalitas pendidik dan tenaga kependidikan; e) melakukan penilaian dan evaluasi serta pemenuhan mutu; dan f) memeriksa keabsahan setiap syahadah atau ijazah Santri yang dikeluarkan oleh Pesantren. Pasal ini niscaya menjadi pasal yg dirujuk sebagai rincian atas pasal 20 ayat 2 yang membatasi tapi tidak singkron dengan 3 jenis Pesantren yang diakui olh UU Pesantren.

“Dengan kewenangan dan tugas yang sangat strategis, penting dan mencakup semua jenis Pesantren tersebut, maka sudah sewajarnya bila anggota majelis masyayikh merepresentasikan semua jenis pesantren yang ada dan diakui dalam UU Pesantren,” tukasnya.

Oleh karena itu, HNW berharap Menteri Agama dan AHWA segera mengkoreksi kebijakannya dengan menambahkan jumlah anggota Majelis Masyayikh agar merepresentasikan tiga jenis pesantren yang diakui oleh UU Pesantren. Apalagi, Peraturan Menteri Agama Nomor 31 Tahun 2020 tentang Pendidikan Pesantren menyebutkan bahwa majelis masyayikh minimal terdiri dari sembilan orang dan maksimal 17 orang. Dan sekarang baru ditunjuk sembilan orang saja, yang kemungkinan baru mewakili dua dari tiga jenis Pesantren yang diakui oleh UU dan yang secara nyata ada dan diakui kiprahnya oleh Masyarakat.

“Saat ini sudah ditetapkan 9 orang anggota Majelis Masyaikh. Maka demi kemaslahatan Pesantren dan tegaknya UU secara adil dan benar, sewajarnya bila Menag dan AHWA segera melakukan koreksi dan perbaikan, dengan menambahkan anggota Majelis Masyaikh hingga dapat memenuhi asas keadilan dan representasi semua jenis pesantren yang diakui di dalam UU Pesantren,” ungkap HNW.

“Agar Majelis Masyaikh dapat melaksanakan tugas dan kewenangannya secara baik dan benar untuk berkhidmat kepada semua jenis Pesantren, bukan hanya kepada/untuk sebagian jenis Pesantren saja, dengan mengesampingkan jenis Pesantren lain yang sama kedudukannya dihadapan hukum yaitu UU Pesantren,” pungkasnya.

red: adhila

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button