RESONANSI

KTT Doha, Antara Retorika dan Aksi Nyata; Membaca Pesan Syair al-Hamdani untuk Dunia Arab–Islam

Kehormatan yang Membara

Unsur ketiga adalah anf hamiyy—kehormatan yang membara. Inilah energi moral yang mempersatukan umat. KTT Doha sesungguhnya sudah memperlihatkan secercah izzah itu, terutama dalam pidato singkat Presiden Suriah Ahmed al-Syara’ dan pidato para kepala negara dan delegasi lainnya. Hanya dalam satu menit empat detik, ia mampu menyampaikan salam, solidaritas, kecaman, doa, kutipan syair, hingga seruan persatuan. Singkat, padat, jelas—dan penuh martabat.

Kontras dengan pidato panjang para pemimpin yang sering membuat bosan, kata-kata Presiden Suriah menjadi tamparan moral: kurangi kata-kata, perbanyak tindakan. Itulah izzah: menempatkan kehormatan umat di atas kepentingan kursi empuk kekuasaan.

Apa yang Belum Terpenuhi

Jika diukur dengan syair al-Hamdani, KTT Doha baru memenuhi sebagian syarat: kecerdasan politik dan secercah izzah. Tetapi pedang yang tajam masih tertinggal di sarungnya bahkan belum diasah sama sekali. Artinya, kezaliman Israel belum akan menjauh apalagi berhenti total.

Gaza masih berdarah, Suriah masih menjadi sasaran, dan dunia Arab–Islam masih berada dalam jangkauan rudal-drone Israel dan terjebak dalam lingkaran fragmentasi kepentingan.

Jalan ke Depan

Pesan syair al-Hamdani yang dikutip oleh Presiden Suriah Ahmed al-Syara’ adalah resep peradaban: akal, kekuatan, dan martabat harus berpadu. Bagi dunia Arab–Islam, itu berarti:

  1. Menyatukan strategi diplomasi cerdas yang menginternasionalisasi kejahatan Israel.
  2. Membangun kekuatan nyata melalui konsolidasi ekonomi dan pertahanan militer negara-negara muslim.
  3. Menyalakan izzah umat sehingga Palestina tidak lagi dipandang beban, melainkan pusat persatuan.

Doha telah membuka pintu. Tetapi pintu itu hanya akan berarti jika dilanjutkan dengan langkah konkret. Umat menunggu, bukan berapa panjang teks komunike, melainkan seberapa tajam pedang yang berani dihunus melawan kezaliman zionazi Israel.

Penutup

Syair al-Hamdani mengajarkan bahwa sejarah tidak berubah oleh pidato dan retorika panjang lebar, melainkan oleh kombinasi kecerdasan, kekuatan, dan martabat. Lihatlah pidato pertama Rasulullah saat tiba di Madinah dari hijrahnya, ringkas padat penuh makna (hanya empat poin pesan). Perhatikan juga surat-surat dakwah diplomasi yang dikirim Rasulullah kepada para raja dan kaisar dunia saat itu yang hanya satu paragraf dengan empat sampai enam kalimat saja, fokus terstruktur.

Namun lihatlah dampaknya: hanya dalam waktu 10 tahun negara Madinah tertata sempurna menjadi prototipe negara paling ideal yang memenuhi unsur religius, makmur dan aman, yang mengantarkan negara Islam pertama itu sanggup menaklukkan dua imperium raksasa super power dunia saat itu: Romawi dan Persia, dalam tempo 25 tahun dari tahun 629 M (saat surat dakwah politik itu dikirim) hingga 654 M.

Bagaimana bisa pidato singkat dan surat ringkas bisa mengubah dunia? Jawabannya seperti dinyatakan bait syair al-Hamdani: karena pemimpin-pemimpin Islam saat itu memenuhi tiga syarat kemenangan yaitu, kecerdasan hati (qalb dzakiy), kekuatan militer (shariman) dan izzah (anfan hamiyyan) yang membara.

Persatuan Arab–Islam yang hari ini hanya “menggeliat” harus segera berubah menjadi “bergerak”, dari “kerumunan” menjadi “kekuatan”, dari “retorika” menjadi “aksi nyata”. Sebab jika tidak, tanpa pedang tajam, kezaliman dan agresi genosida tidak akan pernah berhenti dan terus memakan korbannya, karena umat Islam banyak jumlahnya tapi macam buih di lautan. Umat dua miliar jiwa tak berdaya di hadapan arogansi dan barbarisme zionis Israel yang hanya 7,5 juta jiwa. La ghaliba illa Allah, tiada satupun kekuatan yang absolut menang kecuali Allah ta’ala.[]

Jakarta, 17 September 2025

Fahmi Salim, Direktur Baitul Maqdis Institute & Ketua Umum Fordamai.

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button