Kudeta Myanmar: Perang Dingin AS-China?
Pada Senin dini hari (1/2/2021) militer melakukan kudeta terhadap pemerintahan de facto, Aung San Suu Kyi. Alasan yang digunakan Tatmadaw (sebutan untuk militer Myanmar) adalah adanya kecurangan pemilu November 2020.
Sebagaimana diketahui pada pemilu 2020, Su Kyi dengan partai NLD-nya menang telak. NLD meraup suara 396 kursi dari total 476 kursi parlemen. Sedangkan oposisi yang didukung militer, partai USDP hanya meraup 33 kursi.
Sejak kemenangannya di tahun 2015, pemerintahan NLD dianggap wajah demokrasi Myanmar yang mulai menggeliat. Hanya saja selama pemerintahannya, keadaan negara melambat baik ekonomi serta keamanannya. Memang menurut konstitusi 2008, Tatmadaw semacam memiliki hak veto dalam parlemen. Apalagi hampir 25 persen parlemen diduduki kalangan militer. Ditambah pula, NLD adalah oposisi USDP dukungan militer.
PBB dan AS mendesak junta militer guna membebaskan Su Kyi, dan para pejabat yang ditahannya. Bahkan dalam sidang DK PBB, PBB dan AS menyatakan bahw yang dilakukan Tatmadaw adalah kudeta yang menjegal demokratisasi Myanmar. China sendiri cuci tangan dengan menyatakan bahwa kudeta adalah urusan rumah tangga Myanmar.
Pertanyaannya, apakah benar, kudeta militer Myanmar telah menjegal dan mematikan demokratisasi Myanmar? Tentu saja tidak. Yang ada justru demokrasi dipakai sebagai alat untuk mengobok-obok Myanmar melalui para penguasa kaki tangan negara imperialis. AS dan China saling berebut pengaruh.
Menurut Sebastian Strangio, penulis tentang isu Asia Tenggara di The Diplomat, China memiliki hubungan erat dengan NLD dan memberi bantuan yang banyak kepada pemerintahan Aung San Su Kyi. Oleh karena itu, masih menurutnya, kudeta ini justru membuat ketar-ketir China. Pasalnya pemerintahan militer akan menyorot China.
Adapun hubungan AS dengan Aung San Su Kyi. Pimpinan senat AS, Mitch McConnel mempunyai hubungan dekat dengan Su Kyi. Hanya saja sejak perlakuan pemerintahan Su Kyi terhadap Rohingya, sempat membuat tegang Barat. Tentunya AS sendiri akan merasa kesulitan saat ada desakan dari dunia Islam dalam hal ini.
Pasca kudeta militer, masyarakat berbondong-bondong melakukan aksi protes. Senin, 8 Februari 2021 telah memasuki hari ketiga protes besar-besaran. Aksi protes ini dengan mengenakan pita merah. Bahkan selama setahun kedepan diberlakukan darurat keamanan.
Pertanyaannya, apakah pemerintahan militer ini memang betul-betul anti demokratisasi? Pada masa pemerintahan Ne Win yang militer, justru China memerintahkannya agar membersihkan para pejabat yang pro komunisme. Di waktu itu, sepertinya China mengendus menguatnya intervensi AS di Myanmar.
Jadi yang ada di Myanmar bukanlah kematian demokrasi. Walaupun rakyat protes atas kudeta tersebut, yang ada rakyat hanya menjadi korban dari perang dingin antara AS-China. AS berkepentingan mengerem laju China di kawasan. Sedangkan China dengan OBOR-nya ingin menjadi adidaya di kawasan, termasuk di Myanmar.
Rakyat tetap menjadi bulan-bulanan. Demokrasi yang dijanjikan tidak akan pernah sepi dari konflik kepentingan. Proses demokratisasi hanya menjelaskan timbul tenggelamnya perang kepentingan negara imperialis di Myanmar.[]
Ainul Mizan
(Peneliti LANSKAP)