SUARA PEMBACA

Laut Dipagari, Dimana Kedaulatan Negara?

Kisruh mengenai pagar laut yang terjadi di berbagai wilayah menjadi bukti nyata bahwa hukum buatan manusia tidak memiliki kepastian dan mudah dipermainkan oleh kepentingan tertentu.

Dalam sistem kapitalisme, aturan tidak didasarkan pada keadilan hakiki, melainkan pada asas kepentingan. Siapa yang memiliki kuasa ekonomi, dialah yang berhak menentukan aturan. Akibatnya, hukum dapat berubah-ubah sesuai dengan kepentingan segelintir orang yang memiliki modal besar, sementara rakyat kecil justru menjadi korban.

Kapitalisme telah menjadikan negara kehilangan kedaulatannya dalam mengurus urusan umat. Prinsip kebebasan kepemilikan dalam sistem ini memungkinkan individu dan korporasi menguasai aset-aset strategis yang seharusnya menjadi milik umum, termasuk laut dan sumber daya yang ada di dalamnya. Negara tidak lebih dari sekadar regulator yang bergerak sesuai arahan para kapital, bahkan berperan sebagai penjaga kepentingan mereka. Ketika kepentingan kapital bertabrakan dengan kepentingan rakyat, negara lebih condong melindungi kepentingan kapital dengan dalih investasi dan pertumbuhan ekonomi.

Dampaknya, negara tidak memiliki kuasa untuk menindak para kapital yang perbuatannya menyengsarakan rakyat. Proyek-proyek besar yang dikuasai swasta sering kali mengabaikan kesejahteraan masyarakat sekitar. Ketika rakyat menuntut haknya, mereka justru dihadapkan pada ketidakberdayaan hukum yang lebih berpihak kepada para pemilik modal. Inilah wajah nyata kapitalisme yang sejatinya bukan melayani rakyat, melainkan menghisap mereka demi keuntungan segelintir orang.

Salah satu contoh nyata dari polemik ini adalah kasus pagar laut di perairan Tangerang, Banten. Pagar laut sepanjang 30,16 kilometer tersebut ternyata memiliki sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, Nusron Wahid, mengungkapkan bahwa terdapat 263 bidang tanah dengan HGB di kawasan tersebut.

Dua perusahaan yang tercatat sebagai pemilik HGB di area pagar laut Tangerang adalah PT Intan Agung Makmur dan PT Cahaya Inti Sentosa. PT Intan Agung Makmur memiliki 234 bidang HGB, sementara PT Cahaya Inti Sentosa memiliki 20 bidang HGB.

Menanggapi polemik ini, pemerintah melalui Kementerian ATR/BPN telah melakukan evaluasi terhadap sertifikat HGB yang diterbitkan di kawasan pagar laut. Menteri Nusron Wahid memastikan bahwa sekitar 50 sertifikat HGB dan Hak Milik (HM) di kawasan tersebut telah dibatalkan karena dianggap cacat prosedur dan materiil.

Kasus pagar laut di Tangerang ini menunjukkan bagaimana sistem kapitalisme dapat mengabaikan kepentingan rakyat demi keuntungan segelintir pihak. Dalam Islam, kepemilikan umum seperti laut tidak boleh dikuasai oleh individu atau swasta. Laut, sungai, hutan, tambang, dan sumber daya alam lainnya adalah milik umum yang pengelolaannya harus dilakukan oleh negara demi kepentingan rakyat. Rasulullah ï·º bersabda: “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ibn Majah)

Hadis ini menunjukkan bahwa sumber daya yang menyangkut hajat hidup orang banyak tidak boleh dimonopoli oleh segelintir orang. Negara harus berperan sebagai pengelola yang memastikan seluruh rakyat mendapatkan manfaat dari sumber daya tersebut, bukan menyerahkannya kepada kapitalis untuk dieksploitasi demi keuntungan pribadi.

Dalam sistem Islam, negara berfungsi sebagai pengatur dan pelayan rakyat, bukan menjadi regulator dan fasilitator bagi kepentingan kapital. Ia memiliki kedaulatan penuh dalam mengurus urusan negara dan menyejahterakan rakyatnya. Kedaulatan penuh ini membuat negara bersistem Islam kaffah tidak akan tunduk pada korporasi atau kekuatan asing yang ingin menguasai sumber daya umat.

Islam juga memiliki serangkaian aturan dan mekanisme pengelolaan harta milik umum yang tegas dan tidak bisa ditawar-tawar. Pelanggaran terhadap hukum ini adalah bentuk kemaksiatan yang memiliki konsekuensi hukum. Jika ada pihak yang secara zalim mengambil alih kepemilikan umum untuk kepentingan pribadi, negara wajib bertindak tegas untuk mengembalikannya kepada umat. Wallahu a’lam. []

Mahrita Julia Hapsari, Aktivis Muslimah Banua

Artikel Terkait

Back to top button