Legalnya Miras bikin Miris
Pemprov Nusa Tenggara Timur secara resmi meluncurkan miras lokal khas NTT, Rabu 18 Juni 2019 lalu. Sophia namanya, tapi bukan artis yang terkenal itu. Namun jangan salah, Shopia adalah merk dagang minuman keras yang di produksi di NTT yang memiliki kadar kandungan alkohol sebesar 35% – 40 % telah berhasil menyamakan diri dengan minuman keras sekelas dengan whisky, red label dan vodka. Bahkan, peluncurannya ditandai dengan bersulang dan minum bersama yang digelar di lingkungan kampus Undana.
Sungguh miris, lingkungan universitas yang harusnya steril dari minuman keras dan obat terlarang justru dijadikan tempat peresmian minuman keras. Alasan Pemprov NTT menggandeng Undana dalam riset miras ini semata untuk pemberdayaan minuman lokal agar ada peningkatan nilai ekonomi masyarakat dan bukti tanggung jawab moril terhadap pembangunan NTT.
Pemprov NTT seakan melupakan dan menutup mata terhadap dampak buruk yang akan terjadi akibat peresmian dan peluncuran miras tersebut. Faktanya pemakaian miras baik legal ataupun ilegal telah menyumbang tindak kriminalitas yang beragam dan trennya semakin meningkat dan beringas. Para pelaku kejahatan biasanya melakukan aksinya karena pengaruh alkohol dari minuman keras, sehingga kehilangan kesadaran dan akhirnya gampang diprovokasi. Selain itu penggunaan miras lebih banyak mudharatnya dibanding manfaatnya.
Akar Masalah
Sikap pemerintah yang justru memberi angin segar dengan melabel Shopia sebagai produk legal, ini semakin menunjukkan ketidakberdayaan pemerintah dalam menentukan arah dan tujuan pengelolaan negara. Seharusnya pemerintah bisa melindungi masyarakat dari bahaya miras ini justru difasilitasi dan didukung penuh. Lembaga pendidikan tinggi disuport untuk menghasilkan riset dan teknologi yang unggul ini justru mendukung riset yang memproduksi bahan minuman penghancur generasi bangsa.
Selain itu akibat sekularisme dan kebijakan ekonomi kapitalis yang diadopsi telah membuat negara yang mayoritas beragama Islam ini harus berkompromi dengan kemaksiatan yang nyata. Kebijakannya tidak lagi memandang halal dan haram tetapi hanya manfaat sesaat.
Hukum dan Dasar Larangan Minuman keras
Padahal, Islam melarang dengan keras segala jenis minuman keras berapapun kadar alkohol yang dikandungnya untuk dikonsumsi, diperjualbelikan, disimpan, karena banyak mudaratnya dibanding manfaatnya yaitu dapat menyebabkan kecanduan, merusak kesehatan, menurunkan produktivitas, merusak keamanan dan ketertiban dalam masyarakat, dapat merusak generasi bangsa dan ini termasuk dalam dosa besar.
Perkara miras yang menjadi dasar diharamkannya, sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah SWT, surah Al-Baqarah Ayat 219 yang artinya, “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya…..”.
Begitu juga, dalam surah An-Nisa ayat 43 yang artinya,”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.”
Dalam hadits pun disebutkan, “Allah melaknat (mengutuk) khamar, peminumnya, penyajinya, pedagangnya, pembelinya, pemeras bahannya, penahan atau penyimpannya, pembawanya dan penerimanya.” (HR Abu Daud dan Ibnu Majah dari Ibnu Umar).
Solusi Islam dalam Permasalahan Miras
Islam mempunyai tiga solusi dari permasalahan miras yakni, pertama, setiap individu dikuatkan dari sisi akidah dan keimanan kepada Allah. Seseorang yang minum khamr termasuk perbuatan dosa besar dan shalatnya tidak diterima sampai dia sadar.
Kedua, kontrol masyarakat terhadap peredaran miras dengan jalan amar makruf nahi munkar. Masyarakat senantiasa mengawasi lingkungannya agar steril dari penyalahgunaan miras, karena hampir semua tindak kejahatan diawali dengan mabuk.
Ketiga, negara sebagai perisai dan pelindung masyarakat. Negara harus bisa memberikan rasa aman dan memberikan sanksi tegas kepada pelaku kejahatan sesuai syariat Allah agar ketertiban dan keamana terwujud. Negara juga tidak boleh mengambil keuntungan dari barang dan jasa yang sudah ditetapkan keharamannya oleh Allah baik dalam bentuk pajak atau lainnya, meskipun dengan alasan kemanfaatan. []
Ndarie Rahardjo
Guru PAUD, Depok