Luka di Akhir Ramadhan
Ramadhan adalah bulan yang sangat dinanti bagi orang Islam yang beriman dan bertakwa. Ada banyak keberkahan yang turun di bulan suci tersebut. Setiap orang berlomba untuk menggapai setiap mili keberkahan.
Saya dan mungkin begitu banyak orang memasang target besar dalam ibadah individu, baca Qur’an lebih banyak, shalat sunah lebih rajin, tahajud lebih panjang, sedekah lebih kencang dan apapun itu yang terkait dengan ibadah individu.
Namun di antara itu, ada juga yang terus beribadah dengan kondisi yang tidak kondusif, bukan karena mereka tidak ingin, tapi keadaan dan berbagai tuntutan hidup membuat mereka harus seperti itu. Saat kita sedang khusyu’ tarawih, di luar sana ada bapak tukang parkir yang sedang menjaga kendaraan kita, di luar sana ada puluhan remaja seusia kita yang harus berjuang untuk hidup, mereka menjadi penjaga toko, pelayan restoran, bahkan untuk bekerja itu mereka merelakan waktu shalat tarawih berjamaah mereka.
Di belahan bumi Allah yang lain, saudara-saudara kita warga Palestina berlindung di Masjid Al-Aqsa dari bentrokan dengan polisi Israel di sekitar Masjid Al-Aqsa, Yerusalem. Saat itu itu, di kenikmatan malam-malam terakhir Ramadhan, kiblat pertama mereka dobrak tanpa hati, sepatu-sepatu serdadu menginjaki tumpuan sajadah, serasa runtuh hati dan jiwa kita melihat kondisi yang ada disana.
Di saat pagi kita bisa bersantap sahur, duduk manis di ruangan keluarga, makanan yang enak. Saudara-saudara kita di bumi syam terus berharap dengan doa di sekeliling mereka polisi Israel berkumpul. Seperti diwartakan konflik kembali terjadi. Tepatnya di Syekh Jarrah Yerusalem Timur, tempat di mana banyak keluarga Palestina menghadapi penggusuran.
Berbagai kondisi yang terjadi tentu menjadi perenungan bagi kita. Di saat kita begitu bersemangat dan nyaman menikmati Ramadhan kita saat ini, ada yang harus berjuang untuk hidup dan melakukan tugasnya. Para penjaga pintu alquds, para sopir bus malam, para nakhoda di lautan, buruh-buruh bangunan dan pelabuhan, petugas pom bensin, penjaga mini market, tukang parkir, masinis, pilot, dokter dan perawat yang harus berjaga di rumah sakit, dll. Mereka berjuang untuk hidupnya juga hidup orang lain, mungkin juga untuk keluarganya di rumah.
Ramadhan bagi setiap orang berbeda rasanya, berbeda maknanya. Bila Ramadhan bagi kita begitu menyenangkan. Mungkin tidak semenyenangkan yang dirasakan oleh orang lain.
Bila ibadah di Ramadhan kita 30 hari kemarin begitu tenang. Kita bisa membuat target-target ibadah yang tinggi. Mampu ikut kajian virtual di mana-mana. Lalu kita merasa begitu sempurnanya Ramadhan kita kali ini dengan segenap pencapaian tersebut, maka ada yang merasakan sebaliknya.
Di akhir ramadhan ini ada luka yang menyayat tubuh kaum muslimin. Lebih dari 205 orang terluka dalam serangan Israel di Masjid Al-Aqsa. Pasukan Israel menyerang umat Muslim yang sedang melaksanakan ibadah shalat tarawih di Masjid al-Aqsa. Gerbang Damaskus Kota Tua, dan distrik Syekh Jarrah pada hari Jumat. Protes itu terjadi ketika Pengadilan Pusat Israel di Yerusalem Timur menyetujui keputusan untuk mengusir tujuh keluarga Palestina dari rumah mereka demi pemukim Israel pada awal 2021. Masjid Al-Aqsa adalah situs tersuci ketiga di dunia bagi umat Islam. Orang Yahudi menyebut daerah itu “Temple Mount,” mengklaim sebagai situs dari dua kuil Yahudi di zaman kuno.
Hampir semua media massa menyampaikan perihal serangan tersebut, hampir seluruh media sosial menyatakan penolakan terhadap aksi brutal tantara Israel, beribu simpati menghiasa layar handphone kita. Maka dititik inilah kita berkaca kembali, tentang sejatinya mentalitas pejuang Ramadhan. Bahwa mereka tidak saja hidup dengan amalan-kuantitas semata tapi sejatinya bersama dalam jiwa dan perilaku mereka.
“Ya Allah, Yang Maha Hidup, Yang Maha Berdiri Sendiri, Engkau adalah tempat kami memohon bantuan dan Engkau adalah pembawa bantuan, tidak ada Tuhan selain Engkau! Melalui karunia-MU, rahmat, kelembutan dan kasih sayang-MU, limpahkan bantuan secepatnya untuk saudara Muslim kami, orang-orang penyebut kalimat ‘La ilaha illallah’ dari Gaza khususnya. Lindungi mereka dari segala bahaya dan lindungi mereka dari penindasan, kesombongan dan serangan orang lain. Berkati mereka dengan iman dan keyakinan, dengan kesalehan dan takwa dan kemenangan yang sempurna. Lindungi pria dan wanita, muda dan tua. Lindungi tubuh mereka, agama mereka, kekayaan mereka serta kehormatan mereka. Kami meminta Kepada MU dengan nama-nama Mulia-MU, tanda kebesaran dan esensi-MU untuk menunjukkan kepada kami, berikanlah rasa sukacita kepada hamba-hamba saleh-MU dan semua orang beriman, Wahai Yang Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.”
Zelfia, Dosen Ilmu Komunikasi UMI, Kadep Humas Infokom Muslimah Wahdah Pusat.