Mahalnya Ongkos Haji
“Bisa naik haji!”, menjadi impian kaum muslimin di seluruh dunia tak terkecuali Indonesia. Bahkan ada sekuel ‘tukang bubur naik haji’, demi menggambarkan kerja keras aktor dalam mengumpulkan biaya haji hingga berhasil sampai tanah suci.
Sayangnya, tahun ini bukan semakin mudah jalan penyempurna rukun Islam yang hanya perlu dilaksanakan sekali. Justru semakin sulit, tersebab bertambah mahal biayanya.
Dalih demi menjaga keberlangsungan nilai manfaat dana haji di masa depan, diputuskanlah untuk menaikkan biaya haji. Hal ini diketahui setelah Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengusulkan biaya yang dibebankan kepada Jemaah haji sebesar Rp69 juta. Biaya ini melonjak hampir dua kali lipat dari tahun sebelumnya yang hanya Rp39,8 juta (nasional.kompas.com,14/02/2023).
Rakyat semakin resah. Demi menenangkan Komisi VIII bersama Kemenag akhirnya sepakat biaya yang dibayar jemaah haji rata-rata Rp49,8 juta. Angka yang lebih rendah ini ternyata disebabkan oleh efisiensi biaya konsumsi yang semula tiga kali sehari menjadi dua kali sehari. Termasuk berkurangnya pos kegiatan haji, akomodasi dan asuransi (cnbcindonesia.com, 19/02/2023).
Banyak Jemaah yang menyayangkan hal ini. Meski Jemaah yang lunas tahun 2020 (84.609 orang) dan berangkat tahun 2023 tidak dibebankan biaya pelunasan. Tetapi tahun setelahnya dibebani biaya tambahan. Jemaah yang lunas tahun 2022 (9.864 orang) dibebankan tambahan Rp9,4 juta. Sementara pelunasan tahun 2023 (106.590 orang) perlu menambah biaya pelunasan sebesar Rp23,5 juta (bbc.com, 15/02/2023).
Kapitalisasi Sumber Kekacauan
Ironi, kenaikan biaya haji akan terus terjadi secara berkala. Penyebabnya beragam, seperti kenaikan harga bahan baku, transportasi, akomodasi, pajak serta inflasi. Dan diharapkan masyarakat dapat memahami kondisi ini cukup dengan edukasi.
Mahalnya ONH ini sesungguhnya merupakan bukti nyata kapitalisasi ibadah. Setiap negara mendapatkan fasilitas sesuai tarif yang dibayarkan. Wajar saja, bukan hanya soalan biaya yang meresahkan. Tak jarang konflik kepentingan dan carut marut pelayan sering terjadi seperti pembatasan kuota, komersialisasi hotel, tiket, catering dan lainnya.
Hal ini jauh dari peran negara yang seharusnya mengurus kebutuhan rakyat. Inilah potret pengaturan negara dalam sistem kapitalisme, di mana rakyat justru dipalak oleh negara, bahkan dalam urusan ibadah.
Sungguh berbeda dalam pengaturan Islam, yang menjadikan penguasa sebagai raa’in, pengurus rakyat dan memudahkan urusan rakyat terlebih dalam penunaian ibadah.
Islam menjadikan Ibadah haji sebagai salah satu rukun Islam dan diwajibkan bagi orang yang mampu secara fisik, perbekalan (materi), dan terjamin kondisi keamanannya sebagaimana dalam Ali Imran 97. Selain itu, negara punya peran besar dalam mengelola pelaksanaannya.