Mahkamah Kejahatan?
Lembaga hukum semacam MK kok bengal dan bebal. Cuma sembilan “hakim” dengan atribut disematkan “tinggi”, sesungguhnya hanya mencerminkan bengis dan egoismenya yang “tinggi”.
Itulah ekspresinya, sudah puluhan kali gugatan PT 20% diujimaterikan pelbagai pihak, dengan dasar landasan alasan berpikir imperatif, obyektif, kontekstual dan rasional sekalipun —seluruhnya merujuk demi hukum yang berkeadilan dan pemulihan demokrasi, tapi secara kelembagaan mereka bergerombol berkolusi “berkepura-puraan” dalam membuat keputusan voting sekalipun, seolah bernaung di bawah dan atas nama hukum perundang-undangan juga, justru berlaku tak adil dan otoriter.
Padahal, momentumnya pun tepat akan ada pergantian Presiden yang hanya telah membawa perjalanan bangsa dan negara nyaris satu dekade ini “oleng dan bopeng”, kenapa kok tetap tak menggubrisnya? Malah terus meloloskan RUU KPK, Omnibuslaw, BRIN dan IKN yang banyak disorot masih membawa beban preseden buruk bagi publik dan bangsa ini?
“Oleng” untung ada batasnya dua periode sesuai konstitusi —itu juga sudah ada keberanian yang luar biasa membuncah untuk memaksakan kehendak tiga periode menabraknya melalui rekayasa sosial yang sungguh apik dengan merebakkan dukungan partai, deklarasi Kepala Desa, hingga komunitas relawan politik Projo.
Jika tidak biduk republik ini sudah luluh berantakan dan tenggelam ditelan goyangan beliung ombak yang “tinggi” pula. Dikarenakan pemimpinnya tak mampu mengendalikan betapa polarisasi dan keterpecahbelahan rakyatnya dibiarkan tetap terjadi. Bahkan, semakin melebar dan meruncing.
Narasi agitasi, pengumpatan, caci maki, dan fitnah mewarnai bahasa keseharian bangsa ini sejak dimulai dari sarapan pagi.
“Bopeng” dikarenakan pemimpinnya tak tegak lurus—padahal dari asal muasalnya punya komitmen fundamentalis Banteng Tegak Lurus, seharusnya tetap berintegritas dan berloyalitas tinggi untuk membawa bangsa dan negara ini semata-mata demi mewujudkan keadilan dan kemakmuran rakyatnya, malah yang terjadi justru sebaliknya.
Akibat salah urus adanya ikut campur dan sokongan oligarki korporasi, negara ini seperti dikelola oleh para kelompok “lutung” yang hanya nunut dan turut kepada tuannya oligarki, malah negara yang menjadi buntung. Efek merusaknya terhadap negara ini sungguh menjadi sangat luar biasa. Kaki tangan kekuasaannya tidak saja sudah “merangsek” ke lembaga-lembaga tinggi yang memiliki kewenangan hukum dan politik, bahkan telah “meringsek” ke dalam kabinet, para pejabat menterinya banyak yang terlibat kepentingan sudah tak ditutup-tutupi lagi secara terang-terangan malah bangga dengan atribut “penguasa-pengusaha”.
Maka, tak aneh jika terjadi banjir korupsi dari luapan kebocoran cuan APBN dan PDB, bahkan sumber-sumber daya alam potensial yang masih ada dikerak bumi sekalipun dikeruknya tak habis-habisnya, menimpa bangsa menjadi bencana besar endemik di seluruh lini perikehidupan pelosok negeri.
Muara akhirnya, yang menjadi tujuan pokok untuk rakyat tak terurus semakin hari semakin menderita saat melewati pandemi dan pasca pemulihannya yang masih tak pasti, negara malah dijadikan ladang bancakan para “lutung” rakus dan serakah itu berebut fasilitas dan korupsi.
Kalau sudah begini, negara yang sudah oleng dan bopeng ini masihkah tetap tak digubrisnya kali ini perihal urusan maha penting Preshold 20% menjadi 0% demi dan untuk pemulihan demokratisasi dalam kerangka penyelenggaraan kontestasi Pilpres 2024 memilih Presiden baru pemimpin yang diharapkan bisa membawa angin perubahan bagi negara dan bangsa ini? Lantas, apakah nasib 270 juta jiwa rakyat Indonesia ini hanya tergantung dan digantungkan oleh sembilan hakim tinggi MK yang bengis dan egois ini?