Makna Hakiki Mencintai Nabi
Tiga hubungan tersebut adalah yang pertama, hubungan antara manusia dengan Allah SWT, yang diatur dalam syariat berkaitan dengan akidah dan ibadah. Kemudian hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri yang diatur dalam syariat tentang makanan, minuman, akhlak dan pakaian. Sedangkan hubungan yang ketiga yaitu antara sesama manusia, diatur dalam syariat berkaitan dengan muamalah (ekonomi, sosial, pendidikan, keamanan, budaya dan lain-lain) dan uqubat (sanksi).
Dari sana dapat dilihat, bahwa risalah yang dibawa Rasulullah adalah syariat yang sempurna. Tak ada satupun aspek kehidupan yang tidak diatur oleh Islam. Dengan dilandasi aqidah yang benar, yang memuaskan akal dan sesuai dengan fitrah, menjadikan aturan Islam sebagai satu-satunya yang layak untuk diterapkan atas seluruh manusia.
Dan penerapan syariat Islam secara menyeluruh inilah yang diperjuangkan Nabi Saw sepanjang dakwah yang beliau lakukan di Mekkah, hingga kemudian Allah turunkan pertolonganNya dengan menjadikan Madinah sebagai tempat bagi berdirinya Negara Islam pertama. Di sanalah Rasulullah menjadi pemimpin yang menegakkan syariat Islam bagi seluruh manusia yang hidup di bawah naungannya.
Negara Islam di Madinah menjadi tonggak berdirinya sebuah peradaban Islam yang agung. Cahayanya tidak hanya dirasakan oleh umat Islam tetapi juga orang-orang nonmuslim. Keadilan dan kesejahteraan dirasakan selama berabad-abad, dinikmati siapa saja yang hidup di dalamnya. Dakwah Islam tersebar ke seluruh penjuru dunia, menghilangkan berbagai kezaliman yang ada, dan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamiin betul-betul terwujud.
Nabi Saw Sangat Mencintai Umatnya
Begitulah jejak perjuangan Nabi Saw dalam memperjuangkan dan menyebarluaskan Islam. Karena cinta dan kasihnya, kita dapat merasakan nikmat keimanan dan terbebas dari gelapnya kekufuran. Bahkan saking cintanya baginda Nabi kepada umat Islam, hingga detik nafas terakhirnya, umatnyalah yang disebut dengan lirih menahan sakitnya sakaratul maut. Ummatii…ummatiii…ummmatii… Bukan istrinya, bukan anaknya, bukan pula kerabat dan sahabatnya. Tapi kita, yang mengaku umatnyalah yang disebutnya berulang-ulang.
Begitu khawatirnya Beliau Saw pada kita yang ditinggalkannya, hingga beliau berwasiat agar kita tetap berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah saja. Nabi Saw ingin agar seluruh umat Islam selamat, tidak hanya di dunia tapi juga di akhirat. Bahkan beliau menitip pesan agar kita tak boleh sedetikpun memisahkan diri dari kebenaran Al-Qur’an yang mulia, dan mengikutinya kemanapun meski dalam kondisi sulit. Sebab mati dalam keadaan taat kepada Allah jauh lebih baik daripada hidup bermaksiat kepadaNya.
Untuk itu dalam mewujudkan cinta kepada Rasulullah Saw, tidak cukup hanya dimeriahkan sekedar seremonial semata. Namun seharusnya juga diiringi dengan bersegera menjalankan seluruh syariat yang beliau bawa. Tak boleh bagi kita kemudian memilah-milah aturan Allah sesuai hawa nafsu. Bahkan wajib bagi umat Islam untuk turut memperjuangkan penerapannya dalam kehidupan, untuk menebarkan cahaya hidayah dan menghapuskan berbagai kebathilan.
Kelak di hari pembalasan kita pasti berharap mendapatkan syafaat dari Rasulullah. Kita berharap memperoleh naungan dari Nabi Saw. Namun pantaskah itu kita dapatkan sementara menjalankan syariatnya kita masih enggan? Pantaskah kita menyebut bagian dari umatnya bila masih menunda-nunda untuk mentaati seluruh perintah Allah dan menjauhi laranganNya?
Maka, menjadi kewajiban bagi kita untuk membuktikan cinta kita dengan mencintai syariatnya dan memperjuangkannya agar dapat tegak kembali sebagaimana yang telah Beliau Saw contohkan. Inilah mahabbah sesungguhnya. Beginilah bukti kerinduan yang hakiki kepada Nabi Saw. Semoga kelak kita mendapatkan syafaat Rasulullah Saw di hari pembalasan yang pasti terjadi. Wallahu ‘alam bisshowab.
Dwi Indah Lestari